BAB I
TEORI – TEORI ETIKA BISNIS
1. Pengertian Etika
Etika berasal dari dari kata Yunani ‘Ethos’ (jamak – ta etha), berarti adat istiadat. Etika berkaitan dengan nilai-nilai, tatacara hidup yang baik, aturan hidup yang baik dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang yang lain atau dari satu generasi ke generasi yang lain.
• Pengertian etika = moralitas
Moralitas berasal dari kata Latin Mos (jamak – Mores) berarti adat istiadat atau kebiasaan. Pengertian harfiah dari etika dan moralitas, sama-sama berarti sistem nilai tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia yang telah diinstitusionalisasikan dalam sebuah adat kebiasaan yang kemudian terwujud dalam pola perilaku yang ajek dan terulang dalam kurun waktu yang lama sebagaimana layaknya sebuah kebiasaan.
• Etika sebagai Filsafat Moral
Etika sebagai filsafat moral tidak langsung memberi perintah konkret sebagai pegangan siap pakai. Etika dapat dirumuskan sebagai refleksi kritis dan rasional mengenai:
a. Nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia.
b. Masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan norma moral yang umum diterima.
Etika sebagai Ilmu menuntut orang untuk berperilaku moral secara kritis dan rasional. Dengan menggunakan bahasa Nietzcshe, etika sebagai ilmu menghimbau orang untuk memiliki moralitas tuan dan bukan moralitas hamba. Dalam bahasa Kant, etika berusaha menggugah kesadaran manusia untuk bertindak secara otonom dan bukan secara heteronom. Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas tetapi dapat dipertanggungjawabkan.
2. Tiga Norma Umum
Norma à memberi pedoman tentang bagaimana kita harus hidup dan bertindak secara baik dan tepat, sekaligus menjadi dasar bagi penilaian mengenai baik buruknya perilaku dan tindakan kita.
Macam-macam Norma :
a. Norma-norma Khusus, adalah aturan yang berlaku dalam bidang kegiatan atau kehidupan khusus, misalnya aturan olah raga, aturan pendidikan dan lain-lain.
b. Norma-norma Umum, sebaliknya lebih bersifat umum dan sampai pada tingkat tertentu boleh dikatakan bersifat universal. Norma umum terdiri dari:
• Norma Sopan Santun adalah norma yang mengatur pola perilaku dan sikap lahiriah dalam pergaulan sehari-hari.
• Norma Hukum adalah norma yang dituntut keberlakuannya secara tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu dan niscaya demi keselamatan dan kesejahteraan manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
• Norma Moral yaitu aturan mengenai sikap dan perilaku manusia sebagai manusia. Norma moral ini menyangkut aturan tentang baik buruknya, adil tidaknya tindakan dan perilaku manusia sejauh ia dilihat sebagai manusia.
Ada beberapa ciri utama yang membedakan norma moral dari norma umum lainnya (kendati dalam kaitan dengan norma hukum ciri-ciri ini bisa tumpang tindih) :
a. Kaidah moral berkaitan dengan hal-hal yang mempunyai atau yang dianggap mempunyai konsekuensi yang serius bagi kesejahteraan, kebaikan dan kehidupan manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok.
b. Norma moral tidak ditetapkan dan/atau diubah oleh keputusan penguasa tertentu. Norma moral dan juga norma hukum merupakan ekspresi, cermin dan harapan masyarakat mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Berbeda dengan norma hukum, norma moral tidak dikodifikasikan, tidak ditetapkan atau diubah oleh pemerintah. Ia lebih merupakan hukum tak tertulis dalam hati setiap anggota masyarakat, yang karena itu mengikat semua anggota dari dalam dirinya sendiri.
c. Norma moral selalu menyangkut sebuah perasaan khusus tertentu, yang oleh beberapa filsuf moral disebut sebagai perasaan moral (moral sense).
3. Teori Etika
a. Etika Teleologi, dari kata Yunani, telos = tujuan, yaitu mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu.
Dua aliran etika teleologi :
- Egoisme Etis
Inti pandangan egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Egoisme ini baru menjadi persoalan serius ketika ia cenderung menjadi hedonistis, yaitu ketika kebahagiaan dan kepentingan pribadi diterjemahkan semata-mata sebagai kenikmatan fisik yang bersifat vulgar.
- Utilitarianisme
Berasal dari bahasa latin utilis yang berarti “bermanfaat”. Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan.
Dalam rangka pemikiran utilitarianisme, kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah “the greatest happiness of the greatest number”, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang yang terbesar.
b. Deontologi
Istilah deontologi berasal dari kata Yunani ‘deon’ yang berarti kewajiban.
‘Mengapa perbuatan ini baik dan perbuatan itu harus ditolak sebagai buruk’, deontologi menjawab : ‘karena perbuatan pertama menjadi kewajiban kita dan karena perbuatan kedua dilarang’. Yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan adalah kewajiban. Pendekatan deontologi sudah diterima dalam konteks agama, sekarang merupakan juga salah satu teori etika yang terpenting.
Ada tiga prinsip yg harus dipenuhi :
(1) Supaya tindakan punya nilai moral, tindakan ini harus dijalankan berdasarkan kewajiban.
(2) Nilai moral dari tindakan ini tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan itu melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan itu, berarti kalaupun tujuan tidak tercapai, tindakan itu sudah dinilai baik.
(3) Sebagai konsekuensi dari kedua prinsip ini, kewajiban adalah hal yang niscaya dari tindakan yang dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal.
Bagi Kant, Hukum Moral ini dianggapnya sebagai perintah tak bersyarat (imperatif kategoris), yang berarti hukum moral ini berlaku bagi semua orang pada segala situasi dan tempat.
Perintah Bersyarat adalah perintah yg dilaksanakan kalau orang menghendaki akibatnya, atau kalau akibat dari tindakan itu merupakan hal yang diinginkan dan dikehendaki oleh orang tersebut. Perintah Tak Bersyarat adalah perintah yang dilaksanakan begitu saja tanpa syarat apapun, yaitu tanpa mengharapkan akibatnya, atau tanpa mempedulikan apakah akibatnya tercapai dan berguna bagi orang tersebut atau tidak.
c. Teori Hak
Dalam pemikiran moral dewasa ini barangkali teori hak ini adalah pendekatan yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku. Teori Hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi, karena berkaitan dengan kewajiban. Hak dan kewajiban bagaikan dua sisi uang logam yang sama. Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena itu hak sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis.
d. Teori Keutamaan (Virtue)
Memandang sikap atau akhlak seseorang. Tidak ditanyakan apakah suatu perbuatan tertentu adil, atau jujur, atau murah hati dan sebagainya. Keutamaan bisa didefinisikan sebagai berikut : disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral.
Contoh keutamaan :
a. Kebijaksanaan
b. Keadilan
c. Suka bekerja keras
d. Hidup yang baik
Keutamaan-keutamaan yang dimilliki manajer dan karyawan sejauh mereka mewakili perusahaan, adalah : Keramahan, Loyalitas, Kehormatan dan Rasa malu.
Keramahan merupakan inti kehidupan bisnis, keramahan itu hakiki untuk setiap hubungan antar manusia, hubungan bisnis tidak terkecuali. Loyalitas berarti bahwa karyawan tidak bekerja semata-mata untuk mendapat gaji, tetapi mempunyai juga komitmen yang tulus dengan perusahaan. Kehormatan adalah keutamaan yang membuat karyawan menjadi peka terhadap suka dan duka serta sukses dan kegagalan perusahaan. Rasa malu membuat karyawan solider dengan kesalahan perusahaan.
BAB 1B
BISNIS : SEBUAH PROFESI ETIS ?
1. Etika Terapan
Secara umum Etika dibagi menjadi :
a. Etika Umum berbicara mengenai norma dan nilai moral, kondisi-kondisi dasar bagi manusia untuk bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika, lembaga-lembaga normatif dan semacamnya.
b. Etika Khusus adalah penerapan prinsip-prinsip atau norma-norma moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus.
Etika Khusus dibagi menjadi 3 :
1. Etika Individual lebih menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.
2. Etika Sosial berbicara mengenai kewajiban dan hak, sikap dan pola perilaku manusia sebagai makhluk sosial dalam interaksinya dengan sesamanya.
3. Etika Lingkungan Hidup, berbicara mengenai hubungan antara manusia baik sebagai kelompok dengan lingkungan alam yang lebih luas dalam totalitasnya, dan juga hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya yang berdampak langsung atau tidak langsung pada lingkungan hidup secara keseluruhan.
2. Etika Profesi
a. Pengertian Profesi
Profesi dapat dirumuskan sebagai pekerjaan yang dilakukan sebagai nafkah hidup dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi dan dengan melibatkan komitmen pribadi (moral) yang mendalam.
Orang Profesional adalah orang yang melakukan suatu pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan keahlian dan ketrampilan yang tinggi serta punya komitmen pribadi yang mendalam atas pekerjaannya itu. Atau orang yang profesional adalah orang yang melakukan suatu pekerjaan karena ahli di bidang tersebut dan meluangkan seluruh waktu, tenaga, dan perhatiannya untuk pekerjan tsb.
b. Ciri-ciri Profesi
Adanya keahlian dan ketrampilan khusus.
Adanya komitmen moral yang tinggi.
Biasanya orang yang profesional adalah orang yang hidup dari profesinya.
Pengabdian kepada masyarakat.
Pada profesi luhur biasanya ada izin khusus untuk menjalankan profesi tersebut.
Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu organisasi profesi.
• Adanya komitmen moral yg tinggi
Komitmen moral ini biasanya dituangkan, khususnya untuk profesi yang luhur dalam bentuk aturan khusus yang menjadi pegangan bagi setiap orang yang mengemban profesi yang bersangkutan. Aturan main dlm menjalankan atau mengemban profesi tersebut biasanya disebut Kode Etik. Ada 2 sasaran pokok dari kode etik, yaitu :
kode etik bermaksud melindungi masyarakat dari kemungkinan dirugikan oleh kelalaian entah secara sengaja atau tidak sengaja dari kaum professional.
kode etik bertujuan melindungi keluhuran profesi tersebut dari perilaku-perilaku bobrok orang-orang tertentu yang mengaku diri profesional.
• Profesi luhur biasanya ada izin khusus untuk menjalankan profesi tersebut
Keberadaan izin khusus, karena menyangkut kepentingan orang banyak, dan terkait dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup, kesehatan dan sebagainya. Izin khusus bertujuan untuk melindungi masyarakat dari pelaksanaan profesi yang tidak becus. Atau izin merupakan bentuk perlindungan awal atas kepentingan masyarakat. Wujud dari izin, bisa berbentuk surat izin, sumpah, kaul, atau pengukuhan resmi di depan umum. Yang berhak memberi izin adalah negara sebagai penjamin tertinggi kepentingan masyarakat.
• Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu organisasi profesi
Contoh : IDI, IAI
Tujuan organisasi profesi ini terutama adalah untuk menjaga dan melindungi keluhuran profesi tersebut. Tugas Pokoknya adalah menjaga agar standar keahlian dan keterampilan tidak dilanggar, kode etik tidak dilanggar, dan berarti menjaga agar kepentingan masyarakat tidak dirugikan oleh pelaksanaan profesi tersebut oleh anggota manapun.
c. Prinsip-prinsip Etika Profesi
Prinsip tanggung jawab:
- Bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan dan terhadap hasilnya.
- Bertanggung jawab atas dampak profesinya ini terhadap kehidupan orang lain, khususnya kepentingan orang-orang yang dilayani.
Bentuk : mengganti kerugian, pengakuan jujur dan tulus secara moral telah melakukan kesalahan, mundur dari jabatan, dan sebagainya.
Prinsip Keadilan
Prinsip ini terutama menuntut orang yang profesional agar dalam menjalankan profesinya ia tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, khususnya orang-orang yang dilayani dalam rangka profesinya.
Prinsip Otonomi
Prinsip yang dituntut oleh kalangan profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Karena hanya kaum profesional ahli dan terampil dalam bidang profesinya, tidak boleh ada pihak luar yang ikut campur tangan dalam pelaksanaan profesi tersebut.
Prinsip Integritas Moral
Prinsip ini merupakan tuntutan kaum profesional atas dirinya sendiri bahwa dalam menjalankan tugas profesinya ia tidak akan sampai merusak nama baiknya serta citra dan martabat profesinya.
3. Menuju Bisnis sebagai Profesi Luhur
Sesungguhnya bisnis bukanlah merupakan profesi, kalau bisnis dianggap sebagai pekerjaan kotor, kendati kata profesi, profesional dan profesionalisme sering begitu diobral dalam kaitan dengan kegiatan bisnis. Namun di pihak lain tidak dapat disangkal bahwa ada banyak orang bisnis dan juga perusahaan yang sangat menghayati pekerjaan dan kegiatan bisnisnya sebagai sebuah profesi. Mereka tidak hanya mempunyai keahlian dan keterampilan yang tinggi tapi punya komitmen moral yang mendalam. Karena itu, bukan tidak mungkin bahwa bisnis pun dapat menjadi sebuah profesi dalam pengertian sebenar-benarnya bahkan menjadi sebuah profesi luhur.
a. Pandangan Praktis-Realistis
• Pandangan ini bertumpu pada kenyataan yang diamati berlaku dalam dunia bisnis dewasa ini. Pandangan ini didasarkan pada apa yang umumnya dilakukan oleh orang-orang bisnis. Pandangan ini melihat bisnis sebagai suatu kegiatan di antara manusia yang menyangkut memproduksi, menjual dan membeli barang dan jasa untuk memperoleh keuntungan.
• Bisnis adalah suatu kegiatan Profit Making. Dasar pemikirannya adalah bahwa orang yang terjun ke dalam bisnis tidak punya keinginan dan tujuan lain selain ingin mencari keuntungan. Kegiatan bisnis adalah kegiatan ekonomis dan bukan kegiatan sosial. Karena itu, keuntungan itu sah untuk menunjang kegiatan bisnis. Tanpa keuntungan bisnis tidak bisa jalan.
b. Pandangan Ideal
Disebut pandangan ideal, karena dalam kenyataannya masih merupakan suatu hal yang ideal mengenai dunia bisnis.
Menurut pandangan ini, bisnis tidak lain adalah suatu kegiatan diantara manusia yang menyangkut memproduksi, menjual, dan membeli barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Dasar pemikirannya adalah pertukaran timbal balik secara fair di antara pihak-pihak yang terlibat. Maka yang mau ditegakkan dalam bisnis yang menyangkut pandangan ini adalah keadilan komutatif, khususnya keadilan tukar atau pertukaran dagang yang fair.
Salah satu upaya untuk membangun bisnis sebagai profesi yang luhur adalah dengan membentuk, mendukung dan memperkuat organisasi profesi. Melalui organisasi profesi tersebut bisnis bisa dikembangkan sebagai sebuah profesi dalam pengertian sebenar-benarnya sebagaimana dibahas disini, kalau bukan menjadi profesi luhur.
BAB 2
BISNIS DAN ETIKA
• Mitos Bisnis Amoral
Mengungkapkan suatu keyakinan bahwa antara bisnis dan moralitas atau etika tidak ada hubungan sama sekali. Etika justru bertentangan dengan bisnis dan akan membuat pelaku bisnis kalah dalam persaingan bisnis yang ketat.
• Keutamaan Etika bisnis
1. Dalam bisnis modern, para pelaku bisnis dituntut untuk menjadi orang-orang profesional di bidangnya. Perusahaan yang unggul bukan hanya memiliki kinerja dalam bisnis,manajerial dan finansial yang baik akan tetapi juga kinerja etis dan etos bisnis yang baik.
2. Dalam persaingan bisnis yang sangat ketat,maka konsumen benar-benar raja.
• Prinsip-prinsip Etika Bisnis
1. Prinsip otonomi
Otonomi adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadaran sendiri tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan. Orang yang otonom adalah orang yang bebas mengambil keputusan dan tindakan serta bertanggung jawab atas keputusan dan tindakannya tersebut.
2. Prinsip Kejujuran
Kejujuran dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak.
Kejujuran dalam penawaran barang dan jasa dengan mutu dan harga sebanding.
Kejujuran dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan.
3. Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai dengan kriteria yang rasional objektif dan dapat dipertanggung jawabkan.
• Etos Bisnis
Etos bisnis adalah suatu kebiasaan atau budaya moral menyangkut kegiatan bisnis yang dianut dalam suatu perusahaan dari satu generasi ke generasi yang lain. Inti etos ini adalah pembudayaan atau pembiasaan penghayatan akan nilai, norma, atau prinsip moral tertentu yang dianggap sebagai inti kekuatan dari suatu perusahaan yang juga membedakannya dari perusahaan yang lain. Etos bisnis dibangun atas dasar visi atau filsafat bisnis pendiri perusahaan sebagai penghayatan tentang bisnis yang baik.
BAB 3
ETIKA UTILITARIANISME DALAM BISNIS
• Etika Utilitarianisme
Dikembangkan pertama kali oleh Jeremi Bentham (1748 -1832). Adalah tentang bagaimana menilai baik buruknya suatu kebijaksanaan sosial politik, ekonomi dan legal secara moral.
• Kriteria dan Prinsip Etika Utilitarianisme
MANFAAT
MANFAAT TERBESAR
MANFAAT TERBESAR BAGI SEBANYAK MUNGKIN ORANG
• Nilai Positif Etika Utilitarianisme
• Rasionalitas.
• Utilitarianisme sangat menghargai kebebasan setiap pelaku moral.
• Universalitas.
• Utilitarianisme sebagai Proses dan sebagai Standar Penilaian
• Etika utilitarianisme digunakan sebagai proses untuk mengambil keputusan, kebijaksanaan atau untuk bertindak.
• Etika utilitarianisme sebagai standar penilaian bagi tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan.
• Analisis Keuntungan dan Kerugian
Dalam Etika Utilitarianisme, manfaat dan kerugian selalu dikaitkan dengan semua orang yang terkait, sehingga analisis keuntungan dan kerugian tidak lagi semata-mata tertuju langsung pada keuntungan bagi perusahaan.
• Analisis keuntungan dan kerugian dalam kerangka Etika bisnis:
1. Keuntungan dan kerugian, cost and benefits, yang dianalisis tidak dipusatkan pada keuntungan dan kerugian perusahaan.
2. Analisis keuntungan dan kerugian tidak ditempatkan dalam kerangka uang.
3. Analisis keuntungan dan kerugian untuk jangka panjang.
• Langkah konkret yang perlu diambil dalam membuat kebijaksanaan bisnis, berkaitan dengan Analisis keuntungan dan kerugian :
• Mengumpulkan dan mempertimbangkan alternatif kebijaksanaan dan kegiatan bisnis sebanyak-banyaknya.
• Seluruh alternatif pilihan dalam analisis keuntungan dan kerugian, dinilai berdasarkan keuntungan yg menyangkut aspek-aspek moral.
• Analisis Neraca keuntungan dan kerugian perlu dipertimbangkan dalam kerangka jangka panjang.
• Kelemahan Etika Utilitarisme
1. Manfaat merupakan konsep yang begitu luas sehingga dalam kenyataan praktis akan menimbulkan kesulitan yang tidak sedikit.
2. Etika utilitarisme tidak pernah menganggap serius nilai suatu tindakan pada dirinya sendiri dan hanya memperhatikan nilai suatu tindakan sejauh berkaitan dengan akibatnya.
3. Etika utilitarisme tidak pernah menganggap serius kemauan baik seseorang.
4. Variabel yang dinilai tidak semuanya dapat dikualifikasi.
5. Seandainya ketiga kriteria dari etika utilitarisme saling bertentangan, maka akan ada kesulitan dalam menentukan proiritas di antara ketiganya
6. Etika utilitarisme membenarkan hak kelompok minoritas tertentu dikorbankan demi kepentingan mayoritas.
BAB 4
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN
Tanggung jawab sosial perusahaan sangat erat kaitannya dengan pertanyaan-pertanyaan berikut:
• Apakah memang perusahaan punya tanggung jawab moral dan sosial ?
• Kalau ada, manakah lingkup tanggung jawab itu ?
• Apakah, terkait dengan tanggung jawab sosial perusahaan itu, perusahaan perlu terlibat dalam kegiatan sosial yang berguna bagi masyarakat atau tidak ?
• Bagaimana tanggung jawab sosial perusahaan itu dapat dioperasionalkan dalam suatu perusahaan ?
Syarat bagi Tanggung Jawab Moral
• Tindakan itu dijalankan oleh pribadi yang rasional.
• Bebas dari tekanan, ancaman, paksaan atau apapun namanya.
• Orang yang melakukan tindakan tertentu memang mau melakukan tindakan itu.
Ini hanyalah bentuk tanggung jawab legal…
Anggapan bahwa perusahaan tidak punya tanggung jawab moral sama saja dengan mengatakan bahwa kegiatan perusahaan bukanlah kegiatan yang dijalankan oleh manusia.
Tanggung jawab moral perusahaan dijalankan oleh staf manajemen.
Tanggung jawab legal tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab moral.
Sesungguhnya, pada tingkat operasional bukan hanya staf manajemen yang memikul tanggung jawab sosial dan moral perusahaan ini, melainkan seluruh karyawan.
Lingkup Tanggung jawab Sosial
• Keterlibatan perusahaan dalam kegiatan sosial yang berguna bagi kepentingan masyarakat luas.
• Keuntungan ekonomis.
Argumen yang Mendukung Perlunya Keterlibatan Sosial Perusahaan
• Kebutuhan dan Harapan Masyarakat yang Semakin Berubah.
• Terbatasnya Sumber Daya Alam.
• Lingkungan Sosial yang Lebih Baik.
• Pertimbangan Tanggung Jawab dan Kekuasaan.
• Bisnis Mempunyai Sumber Daya yang Berguna.
• Keuntungan Jangka Panjang.
Implementasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
• Prinsip utama dalam suatu organisasi profesional, termasuk perusahaan, adalah bahwa struktur mengikuti strategi.
• Artinya, struktur suatu organisasi didasarkan oleh strategi dari organisasi atau perusahaan itu.
• Strategi yang diwujudkan melalui struktur organisasi demi mencapai tujuan dan misi perusahaan perlu dievaluasi secara periodik, salah satu bentuk evaluasi yang mencakup nilai-nilai dan tanggung jawab sosial perusahaan adalah Audit Sosial.
BAB 5
KEADILAN DALAM BISNIS
RUANG LINGKUP
1. PAHAM TRADISIONAL DALAM BISNIS
a. Keadilan Legal
- Semua orang harus secara sama dilindungi hukum, dalam hal ini oleh negara.
- Tidak ada orang yang akan diperlakukan secara istimewa oleh hukum atau negara.
- Negara tidak boleh mengeluarkan produk hukum untuk kepentingan kelompok tertentu.
- Semua warga harus tunduk dan taat kepada hukum yang berlaku.
b. Keadilan Komutatif
- Mengatur hubungan yang adil atau fair antara orang yang satu dengan yang lain atau warga negara satu dengan warga negara lainnya.
- Menuntut agar dalam interaksi sosial antara warga satu dengan yang lainnya tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya.
- Jika diterapkan dalam bisnis, berarti relasi bisnis dagang harus terjalin dalam hubungan yang setara dan seimbang antara pihak yang satu dengan lainnya.
- Dalam bisnis, keadilan komutatif disebut sebagai keadilan tukar. Dengan kata lain keadilan komutatif menyangkut pertukaran yang fair antara pihak-pihak yang terlibat.
- Keadilan ini menuntut agar baik biaya maupun pendapatan sama-sama dipikul secara seimbang.
c. Keadilan Distributif
2. KEADILAN INDIVIDUAL DAN STRUKTURAL
Keadilan dan upaya menegakkan keadilan menyangkut aspek lebih luas berupa penciptaan sistem yang mendukung terwujudnya keadilan tersebut.
Prinsip keadilan legal berupa perlakuan yang sama terhadap setiap orang bukan lagi soal orang per orang, melainkan menyangkut sistem dan struktur sosial politik secara keseluruhan.
Untuk bisa menegakkan keadilan legal, dibutuhkan sistem sosial politik yang memang mewadahi dan memberi tempat bagi tegaknya keadilan legal tersebut, termasuk dalam bidang bisnis.
Dalam bisnis, pimpinan perusahaan manapun yang melakukan diskriminasi tanpa dasar yang bisa dipertanggungjawabkan secara legal dan moral harus ditindak demi menegakkan sebuah sistem organisasi perusahaan yang memang menganggap serius prinsip perlakuan yang sama, fair atau adil ini.
Dalam bidang bisnis dan ekonomi, mensyaratkan suatu pemerintahan yang juga adil: pemerintah yang tunduk dan taat pada aturan keadilan dan bertindak berdasarkan aturan keadilan itu.
Yang dibutuhkan adalah apakah sistem sosial politik berfungsi sedemikian rupa hingga memungkinkan distribusi ekonomi bisa berjalan baik untuk mencapai suatu situasi sosial dan ekonomi yang bisa dianggap cukup adil.
Pemerintah mempunyai peran penting dalam hal menciptakan sistem sosial politik yang kondusif, dan juga tekadnya untuk menegakkan keadilan. Termasuk di dalamnya keterbukaan dan kesediaan untuk dikritik, diprotes, dan digugat bila melakukan pelanggaran keadilan. Tanpa itu ketidakadilan akan merajalela dalam masyarakat.
3. TEORI KEADILAN ADAM SMITH
a. Prinsip No Harm
Yaitu prinsip tidak merugikan orang lain, khususnya tidak merugikan hak dan kepentingan orang lain. Prinsip ini menuntun agar dalam interaksi sosial apapun setiap orang harus menahan dirinya untuk tidak sampai merugikan hak dan kepentingan orang lain, sebagaimana ia sendiri tidak mau agar hak dan kepentingannya dirugikan oleh siapapun. Dalam bisnis, tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya, entah sebagai konsumen, pemasok, penyalur, karyawan, investor, maupun masyarakat luas.
b. Prinsip Non-Intervention
Yaitu prinsip tidak ikut campur tangan. Prinsip ini menuntut agar demi jaminan dan penghargaan atas hak dan kepentingan setiap orang, tidak seorangpun diperkenankan untuk ikut campur tangan dalam kehidupan dan kegiatan orang lain. Campur tangan dalam bentuk apapun akan merupakan pelanggaran terhadap hak orang tertentu yang merupakan suatu harm (kerugian) dan itu berarti telah terjadi ketidakadilan. Dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat, pemerintah tidak diperkenankan ikut campur tangan dalam kehidupan pribadi setiap warga negara tanpa alasan yang dapat diterima, dan campur tangan pemerintah akan dianggap sebagai pelanggaran keadilan. Dalam bidang ekonomi, campur tangan pemerintah dalam urusan bisnis setiap warga negara tanpa alasan yang sah akan dianggap sebagai tindakah tidak adil dan merupakan pelanggaran atas hak individu tersebut, khususnya hak atas kebebasan.
c. Prinsip Keadilan Tukar
Atau prinsip pertukaran dagang yang fair, terutama terwujud dan terungkap dalam mekanisme harga pasar.
Merupakan penerapan lebih lanjut dari no harm secara khusus dalam pertukaran dagang antara satu pihak dengan pihal lain dalam pasar.
Adam Smith membedakan antara harga alamiah dan harga pasar atau harga aktual. Harga alamiah adalah harga yang mencerminkan biaya produksi yang telah dikeluarkan oleh produsen, yang terdiri dari tiga komponen yaitu biaya buruh, keuntungan pemilik modal, dan sewa. Harga pasar atau harga aktual adalah harga yang aktual ditawarkan dan dibayar dalam transaksi dagang di dalam pasar.
Kalau suatu barang dijual dan dibeli pada tingkat harga alamiah, itu berarti barang tersebut dijual dan dibeli pada tingkat harga yang adil. Pada tingkat harga itu baik produsen maupun konsumen sama-sama untung. Harga alamiah mengungkapkan kedudukan yang setara dan seimbang antara produsen dan konsumen karena apa yang dikeluarkan masing-masing dapat kembali (produsen: dalam bentuk harga yang diterimanya, konsumen: dalam bentuk barang yang diperolehnya), maka keadilan nilai tukar benar-benar terjadi.
Dalam jangka panjang, melalui mekanisme pasar yang kompetitif, harga pasar akan berfluktuasi sedemikian rupa di sekitar harga alamiah sehingga akan melahirkan sebuah titik ekuilibrium yang menggambarkan kesetaraan posisi produsen dan konsumen.
Dalam pasar bebas yang kompetitif, semakin langka barang dan jasa yang ditawarkan dan sebaliknya semakin banyak permintaan, harga akan semakin naik. Pada titik ini produsen akan lebih diuntungkan sementara konsumen lebih dirugikan. Namun karena harga naik, semakin banyak produsen yang tertarik untuk masuk ke bidang industri tersebut, yang menyebabkan penawaran berlimpah dengan akibat harga menurun. Maka konsumen menjadi diuntungkan sementara produsen dirugikan.
Dengan demikian selanjutnya harga akan berfluktuasi sesuai dengan mekanisme pasar yang terbuka dan kompetitif. Karena itu dalam pasar yang terbuka dan kompetitif, fluktuasi harga akan menghasilkan titik ekuilibrium::: sebuah titik di mana sejumlah barang yang akan dibeli oleh konsumen sama dengan jumlah yang ingin dijual oleh produsen, dan harga tertinggi yang ingin dibayar konsumen sama dengan harga terrendah yang ingin ditawarkan produsen. Titik ekuilibrium inilah yang menurut Adam Smith mengungkapkan keadilan komutatif dalam transaksi bisnis.
4. TEORI KEADILAN DISTRIBUTIF JOHN RAWLS
a. Prinsip-prinsip Keadilan Distributif Rawls
Meliputi:
1. Prinsip Kebebasan yang sama. Setiap orang harus mempunyai hak yang sama atas sistem kebebasan dasar yang sama yang paling luas sesuai dengan sistem kebebasan serupa bagi semua. Keadilan menuntut agar semua orang diakui, dihargai, dan dijamin haknya atas kebebasan secara sama.
2. Prinsip Perbedaan (Difference Principle). Bahwa ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga ketidaksamaan tersebut:
a) Menguntungkan mereka yang paling kurang beruntung, dan
b) Sesuai dengan tugas dan kedudukan yang terbuka bagi semua di bawah kondisi persamaan kesempatan yang sama.
Jalan keluar utama untuk memecahkan ketidakadilan distribusi ekonomi oleh pasar adalah dengan mengatur sistem dan struktur sosial agar terutama menguntungkan kelompok yang tidak beruntung.
b. Kritik atas Teori Rawls
Bahwa Prinsip Perbedaan, berakibat menimbulkan ketidakadilan baru.
Pertama, prinsip tersebut membenarkan ketidakadilan, karena dengan prinsip tersebut pemerintah dibenarkan untuk melanggar dan merampas hak pihak tertentu untuk diberikan kepada pihak lain.
Kedua, yang lebih tidak adil lagi adalah bahwa kekayaan kelompok tertentu yang diambil pemerintah tadi juga diberikan kepada kelompok yang menjadi tidak beruntung atau miskin karena kesalahannya sendiri. Prinsip Perbedaan justru memperlakukan secara tidak adil mereka yang dengan gigih, tekun, disiplin, dan kerja keras telah berhasil mengubah nasib hidupnya terlepas dari bakat dan kemampuannya yang mungkin pas-pasan.
5. JALAN KELUAR ATAS MASALAH KETIMPANGAN EKONOMI
Terlepas dari kritik-kritik terhadap teori Rawls, kita akui bahwa Rawls mempunyai pemecahan yang cukup menarik dan mendasar atas ketimpangan ekonomi. Dengan memperhatikan secara serius kelemahan-kelemahan yang dilontarkan, kita dapat mengajukan jalan keluar tertentu yang sebenarnya merupakan perpaduan teori Adam Smith yang menekankan pada pasar, dan juga teori Rawls yang menekankan kenyataan perbedaan bahkan ketimpangan ekonomi yang dihasilkan oleh pasar.
Harus kita akui bahwa pasar adalah sistem ekonomi terbaik hingga sekarang, karena dari kacamata Adam Smith maupun Rawls, pasar menjamin kebebasan berusaha secara optimal bagi semua orang. Karena itu kebebasan berusaha dan kebebasan dalam segala aspek kehidupan harus diberi tempat pertama.
Negara dituntut untuk mengambil langkah dan kebijaksanaan khusus tertentu yang secara khusus dimaksudkan untuk membantu memperbaiki keadaan sodial dan ekonomi kelompok yang secara obyektif tidak beruntung bukan karena kesalahan mereka sendiri.
Dengan mengandalkan kombinasi mekanisme pasar dan kebijaksanaan selektif pemerintah yang khusus ditujukan untuk membantu kelompok yang secara obyektif tidak mampu memanfaatkan peluang pasar secara maksimal. Dalam hal ini penentuan kelompok yang mendapat perlakuan istimewa harus dilakukan secara transparan dan terbuka. Langkah dan kebijaksanaan ini mencakup pengaturan sistem melalui pranata politik dan legal, sebagaimana diusulkan oleh Rawls, tetapi harus tetap selektif sekaligus berlaku umum. Jalan keluar ini sama sekali tidak bertentangan dengan sistem ekonomi pasar karena sistem ekonomi pasar sesungguhnya mengakomodasi kemungkinan itu.
BAB 6
HAK PEKERJA
MACAM-MACAM HAK PEKERJA
Hak Atas Pekerjaan
Hak atas pekerjaan merupakan hak azasi manusia,karena.:
Pertama: kerja melekat pada tubuh manusia. Kerja adalah aktifitas tubuh dan karena itu tidak bisa dilepaskan atau difikirkan lepas dari tubuh manusia.
Kedua: kerja merupakan perwujudan diri manusia, melalui kerja manusia merealisasikan dirinya sebagai manusia dan sekaligus membangun hidup dan lingkungannya yang lebih manusiawi. Maka melalui kerja manusia menjadi manusia, melalui kerja manusia menentukan hidupnya sendiri sebagai manusia yang mandiri.
Ketiga: hak atas kerja juga merupakan salah satu hak asasi manusia karena kerja berkaitan dengan hak atas hidup, bahkan hak atas hidup yang layak.
Hak atas pekerjaan ini tercantum dalam undang-undang dasar 1945 pasal 27 ayat 2 yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Hak atas upah yang adil
Hak atas upah yang adil merupakan hak legal yang diterima dan dituntut seseorang sejak ia mengikat diri untuk bekerja pada suatu perusahaan. Dengan hak atas upah yang adil sesungguhnya bahwa:
Pertama: Bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan upah, artinya setiap pekerja berhak untuk dibayar.
Kedua: setiap orang tidak hanya berhak memperoleh upah, ia juga berhak memperoleh upah yang adil yaitu upah yang sebanding dengan tenaga yang telah disumbangkannya.
Ketiga: bahwa perinsipnya tidak boleh ada perlakuan yang berbeda atau diskriminatif dalam soal pemberian upah kepada semua karyawan, dengan kata lain harus berlaku prinsip upah yang sama untuk pekerjaan yang sama.
Hak untuk berserikat dan berkumpul
Untuk bisa memperjuangkan kepentingannya, khususnya hak atas upah yang adil, pekerja harus diakui dan dijamin haknya untuk berserikat dan berkumpul. Yang bertujuan untuk bersatu memperjuangkan hak dan kepentingan semua anggota mereka. Menurut De Geroge, dalam suatu masyarakat yang adil, diantara perantara-perantara yang perlu untuk mencapai suatu sistem upah yang adil, serikat pekerja memainkan peran yang penting.
Ada dua dasar moral yang penting dari hak untuk berserikat dan berkumpul :
1. Ini merupakan salah satu wujud utama dari hak atas kebebasan yang merupakan salah satu hak asasi manusia.
2. Dengan hak untuk berserikat dan berkumpul, pekerja dapat bersama-sama secara kompak memperjuangkan hak mereka yang lain, khususnya atas upah yang adil.
Hak atas perlindungan kesehatan dan keamanan
Selain hak-hak diatas, dalam bisnis modern sekarang ini semakin dianggap penting bahwa para pekerja dijamin keamanan, keselamatan dan kesehatannya.
Karena itu pada tempatnya pekerja diasuransikan melalui asuransi kecelakaan dan kesehatan. Ini terutama dituntut pada perusahaan yang bergerak dalam bidang kegiatan yang penuh resiko. Karena itu perusahaan punya kewajiban moral untuk menjaga dan menjamin hak ini, paling kurang dengan mencegah kemungkinan hidup pekerjanya terancam dengan menjamin hak atas perlindungan keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja.
Beberapa hal yang perlu dijamin dalam kaitan dengan hak atas keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja:
1. Setiap pekerja berhak mendapatkan perlindungan atas keamanan, keselamatan dan kesehatan melalui program jaminan atau asuransi keamanan dan kesehatan yang diadakan perusahaan itu.
2. Setiap pekerja berhak mengetahui kemungkinan resiko yang akan dihadapinya dalam menjalankan pekerjaannya dalam bidang tertentu dalam perusahaan tersebut.
3. Setiap pekerja bebas untuk memilih dan menerima pekerjan dengan resiko yang sudah diketahuinya itu atau sebaiknya menolaknya.
Jika ketiga hal ini bisa dipenuhi, suatu perusahaan sudah dianggap menjamin secara memadai hak pekerja atas perlindungan keselamatan, keamanan dan kesehatan kerja. Kalaupun pada akhirnya terjadi risiko tertentu, secara etis perusahaan tersebut tetap dinilai baik.
Hak untuk diproses hukum secara sah
Hak ini terutama berlaku ketika seorang pekerja dituduh dan diancam dengan hukuman tertentu karena diduga melakukan pelanggaran atau kesalahan tertentu. pekerja tersebut wajib diberi kesempatan untuk mempertanggungjawabkan tindakannya, dan kalau ternyata ia tidak bersalah ia wajib diberi kesempatan untuk membela diri. Ini berarti baik secara legal maupun moral perusahaan tidak diperkenankan untuk menindak seorang karyawan secara sepihak tanpa mencek atau mendengarkan pekerja itu sendiri.
Hak untuk diperlakukan secara sama
Pada perinsipnya semua pekerja harus diperlakukan secara sama, secara fair. Artinya tidak boleh ada diskriminasi dalam perusahaan entah berdasarkan warna kulit, jenis kelamin, etnis, agama dan semacamnya, baik dalam sikap dan perlakuan, gaji, maupun peluang untuk jabatan, pelatihan atau pendidikan lebih lanjut. Perbedan dalam hal gaji dan peluang harus dipertimbangkan secara rasional.
Diskriminasi yang didasrkan pada jenis kelamin, etnis, agama dan semacamnya adalah perlakuan yang tidak adil.
Hak atas rahasia pribadi
Karyawan punya hak untuk dirahasiakan data pribadinya, bahkan perusahan harus menerima bahwa ada hal-hal tertentu yang tidak boleh diketahui oleh perusahaan dan ingin tetap dirahasiakan oleh karyawan.
Hak atas rahasia pribadi tidak mutlak, dalam kasus tertentu data yang dianggap paling rahasia harus diketahui oleh perusahaan atau akryawan lainnya, misalnya orang yang menderita penyakit tertentu. Ditakutkan apabila sewaktu-waktu penyakit tersebut kambuh akan merugikan banyak orang atau mungkin mencelakakan orang lain.
Umumnya yang dianggap sebagai rahasia pribadi dan karena itu tidak perlu diketahui dan dicampuri oleh perusahaan adalah persoalan yang menyangkut keyakinan religius, afiliasi dan haluan politik, urusan keluarga serta urusan sosial lainnya.
Hak atas kebebasan suara hati.
Pekerja tidak boleh dipaksa untuk melakukan tindakan tertentu yang dianggapnya tidak baik, atau mungkin baik menurut perusahaan jadi pekerja harus dibiarkan bebas mengikuti apa yang menurut suara hatinya adalah hal yang baik.
WHISTLE BLOWING
Whistle blowing adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang karyawan untuk membocorkan kecurangan entah yang dilakukan oleh perusahaan atau atasannya kepada pihak lain. Pihak yang dilapori itu bisa saja atasan yang lebih tinggi atau masyarakat luas.
Rahasia perusahaan adalah sesuatu yang konfidensial dan memang harus dirahasiakan, dan pada umumnya tidak menyangkut efek yang merugikan apa pun bagi pihak lain, entah itu masyarakat atau perusahaan lain.
Whistle blowing umumnya menyangkut kecurangan tertentu yang merugikan baik perusahaan sendiri maupun pihak lain, dan kalau dibongkar memang akan mempunyai dampak yang merugikan perusahaan, paling kurang merusak nama baik perusahaan tersebut.
Contoh whistle blowing adalah tindakan seorang karyawan yang melaporkan penyimpangan keuangan perusahaan. Penyimpangan ini dilaporkan pada pihak direksi atau komisaris. Atau kecurangan perusahaan yang membuang limbah industri ke sungai.
Ada dua macam whistle blowing :
1. Whistle blowing internal
Hal ini terjadi ketika seorang atau beberapa orang karyawan tahu mengenai kecurangan yang dilakukan oleh karyawan lain atau kepala bagiannya kemudian melaporkan kecurangan itu kepada pimpinan perusahaan yang lebih tinggi.
Motivasi utama dari whistle blowing adalah motivasi moral: demi mencegah kerugian bagi perusahaan tersebut. Motivasi moral ada dua macam motivasi moral baik dan motivasi moral buruk. Untuk mencegah kekeliruan ini dan demi mengamankan posisi moralnya, karyawan pelapor perlu melakukan beberapa langkah:
1. Cari peluang kemungkinan dan cara yang paling cocok tanpa menyinggung perasaan untuk menegur sesama karyawan atau atasan itu.
2. Karyawan itu perlu mencari dan mengumpulkan data sebanyak mungkin sebagai pegangan konkret untuk menguatkan posisinya, kalau perlu disertai dengan saksi-saksi kuat.
2. Whistle blowing eksternal
Menyangkut kasus dimana seorang pekerja mengetahui kecurangan yang dilakukan perusahaannnya lalu membocorkannya kepada masyarakat karena dia tahu bahwa kecurangan itu akan merugikan masyarakat. Misalnya; manipulasi kadar bahan mentah dalam formula sebuah produk.
Motivasi utamanya adalah mencegah kerugian bagi masyarakat atau konsumen. Pekerja ini punya motivasi moral untuk membela kepentingan konsumen karena dia sadar semua konsumen adalah manusia yang sama dengan dirinya dan karena itu tidak boleh dirugikan hanya demi memperoleh keuntungan.
Tentu saja hal yang perlu diperhatikan adalah langkah yang tepat sebelum sampai membocorkan kasus itu ke luar, khususnya untuk mencegah sebisa mungkin agar nama perusahaan tidak tercemar karena laporan itu, kecuali kalau terpaksa.
a. Memastian bahwa kerugian yang ditimbulkan oleh kecurangan tersebut sangat serius dan berat dan merugikan banyak orang. Dalam hal ini etika utilitarianisme dapat dipakai sebagai dasar pertimbangan.
b. Kalau menurut penilaiannya kecurangan itu besar, serius dan berakibat merugikan banyak orang, membawa kasus tersebut kepada staf manajemen untuk mencari jalan untuk memperbaiki dan menghentikan kecurangan itu.
Kalau langkah langkah intern semacam itu tidak memadai, sementara itu kecurangan tersebut tetap berlangsung, maka secara moral dibenarkan bahwa karyawan itu perlu membocorkan kecurangan itu kepada publik.
Dalam sistem sosial dimana melakukan whistle blowing akan menempatkan seorang karyawan dalam posisi yang sulit, secara moral karyawan itu diimbau untuk memutuskan sendiri apakah membocorkan atau tidak membocorkan kecurangan itu. Syaratnya keputusan itu harus diambil berdasarkan pertimbangan suara hatinya atas berbagai pro dan kontra, atas berbagai untung dan rugi yang menurut suara hatinya merupakan keputusan terbaik.
Dengan mempertimbangkan segala unsur konkret yang dihadapi, karyawan itu secara moral tidak boleh dipaksa, melainkan dibiarkan untuk memutuskan sendiri apa sikap dan tindakan yang akan diambilnya sesuai dengan suara hatinya sendiri.
BAB 7
BISNIS DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
• Masyarakat modern adalah masyarakat bisnis.
• Hubungan Produsen Dan Konsumen.
• Antara Produsen Dan Konsumen memiliki “Hak Kontraktual” yaitu Hak yang timbul dan dimiliki seseorang ketika memasuki suatu persetujuan atau kontrak dengan pihak lain.
• Masyarakat modern adalah masyarakat bisnis.
• Pelaku bisnis beranggapan hanya bertanggung jawab memenuhi kebutuhan dan bersikap netral.
• Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) memiliki peran melindungi konsumen dari tindakan produsen.
Kontrak Dianggap Baik Dan Adil :
• Kedua belah pihak mengetahui sepenuhnya hakikat dan kondisi persetujuan yang mereka sepakat.
• Tidak ada pihak yang memalsukan fakta tentang kondisi dan syarat-syarat kontrak.
• Tidak ada pemaksaan.
• Tidak mengikat untuk tindakan yang bertentangan dengan moralitas.
Perangkat pengendali Untuk menjamin Kedua pihak:
1. Aturan moral dalam hati sanubari.
2. Aturan hukum yang memberikan sanksi.
Kedua perangkat tersebut diberlakukan karena dua alasan:
a. Posisi konsumen yang lebih lemah, terutama untuk pasar monopolistis.
b. Konsumen membiayai produsen dalam penyediaan kebutuhan.
Kewajiban Produsen
• Memenuhi ketentuan yang melekat pada produk.
• Menyingkapkan semua informasi.
• Tidak mengatakan yang tidak benar tentang produk yang diwarkan.
Pertimbangan Gerakan Konsumen
• Produk yang semakin banyak dan rumit.
• Terspesialisasinya jenis jasa.
• Pengaruh iklan terhadap kehidupan konsumen.
• Keamanan produk yang tidak diperhatikan.
• Posisi konsumen yang lemah.
Jumat, 17 Desember 2010
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN
1. Tanggung jawab sosial perusahaan sangat erat kaitannya dengan pertanyaan-pertanyaan berikut:
• Apakah memang perusahaan punya tanggung jawab moral dan sosial?
• Kalau ada, manakah lingkup tanggung jawab itu?
• Apakah, terkait dengan tanggung jawab sosial perusahaan itu, perusahaan perlu terlibat dalam kegiatan sosial yang berguna bagi masyarakat atau tidak?
• Bagaimana tanggung jawab sosial perusahaan itu dapat dioperasionalkan dalam suatu perusahaan?
2. Syarat bagi Tanggung Jawab Moral
• Tindakan itu dijalankan oleh pribadi yang rasional.
• Bebas dari tekanan, ancaman, paksaan atau apapun namanya.
• Orang yang melakukan tindakan tertentu memang mau melakukan tindakan itu.
Tanggung jawab sosial perusahaan hanya dinilai dan diukur berdasarkan sejauh mana perusahaan itu berhasil mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya (Milton Friedman,The Social Responsibilities of Business to Increase Its Profits, New York Times Magazine,13-09-1970).
Ini hanyalah bentuk tanggung jawab legal
Anggapan bahwa perusahaan tidak punya tanggung jawab moral sama saja dengan mengatakan bahwa kegiatan perusahaan bukanlah kegiatan yang dijalankan oleh manusia.
Tanggung jawab moral perusahaan dijalankan oleh staf manajemen.
Tanggung jawab legal tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab moral.
Sesungguhnya, pada tingkat operasional bukan hanya staf manajemen yang memikul tanggung jawab sosial dan moral perusahaan ini, melainkan seluruh karyawan.
3. Lingkup Tanggung jawab Sosial
• Keterlibatan perusahaan dalam kegiatan sosial yang berguna bagi kepentingan masyarakat luas.
• Keuntungan ekonomis.
Argumen yang Mendukung Perlunya Keterlibatan Sosial Perusahaan
• Kebutuhan dan Harapan Masyarakat yang Semakin Berubah
• Terbatasnya Sumber Daya Alam
• Lingkungan Sosial yang Lebih Baik
• Perimbangan Tanggung Jawab dan Kekuasaan
• Bisnis Mempunyai Sumber Daya yang Berguna
• Keuntungan Jangka Panjang
Implementasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
• Prinsip utama dalam suatu organisasi profesional, termasuk perusahaan, adalah bahwa struktur mengikuti strategi.
• Artinya, struktur suatu organisasi didasarkan ditentukan oleh strategi dari organisasi atau perusahaan itu.
• Strategi yang diwujudkan melalui struktur organisasi demi mencapai tujuan dan misi perusahaan perlu dievaluasi secara periodik, salah satu bentuk evaluasi yang mencakup nilai-nilai dan tanggung jawab sosial perusahaan adalah Audit Sosial.
Sumber :
DR. A. Sonny Keraf. 2006. Etika Bisnis. Yogyakarta : Kanisius.
• Apakah memang perusahaan punya tanggung jawab moral dan sosial?
• Kalau ada, manakah lingkup tanggung jawab itu?
• Apakah, terkait dengan tanggung jawab sosial perusahaan itu, perusahaan perlu terlibat dalam kegiatan sosial yang berguna bagi masyarakat atau tidak?
• Bagaimana tanggung jawab sosial perusahaan itu dapat dioperasionalkan dalam suatu perusahaan?
2. Syarat bagi Tanggung Jawab Moral
• Tindakan itu dijalankan oleh pribadi yang rasional.
• Bebas dari tekanan, ancaman, paksaan atau apapun namanya.
• Orang yang melakukan tindakan tertentu memang mau melakukan tindakan itu.
Tanggung jawab sosial perusahaan hanya dinilai dan diukur berdasarkan sejauh mana perusahaan itu berhasil mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya (Milton Friedman,The Social Responsibilities of Business to Increase Its Profits, New York Times Magazine,13-09-1970).
Ini hanyalah bentuk tanggung jawab legal
Anggapan bahwa perusahaan tidak punya tanggung jawab moral sama saja dengan mengatakan bahwa kegiatan perusahaan bukanlah kegiatan yang dijalankan oleh manusia.
Tanggung jawab moral perusahaan dijalankan oleh staf manajemen.
Tanggung jawab legal tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab moral.
Sesungguhnya, pada tingkat operasional bukan hanya staf manajemen yang memikul tanggung jawab sosial dan moral perusahaan ini, melainkan seluruh karyawan.
3. Lingkup Tanggung jawab Sosial
• Keterlibatan perusahaan dalam kegiatan sosial yang berguna bagi kepentingan masyarakat luas.
• Keuntungan ekonomis.
Argumen yang Mendukung Perlunya Keterlibatan Sosial Perusahaan
• Kebutuhan dan Harapan Masyarakat yang Semakin Berubah
• Terbatasnya Sumber Daya Alam
• Lingkungan Sosial yang Lebih Baik
• Perimbangan Tanggung Jawab dan Kekuasaan
• Bisnis Mempunyai Sumber Daya yang Berguna
• Keuntungan Jangka Panjang
Implementasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
• Prinsip utama dalam suatu organisasi profesional, termasuk perusahaan, adalah bahwa struktur mengikuti strategi.
• Artinya, struktur suatu organisasi didasarkan ditentukan oleh strategi dari organisasi atau perusahaan itu.
• Strategi yang diwujudkan melalui struktur organisasi demi mencapai tujuan dan misi perusahaan perlu dievaluasi secara periodik, salah satu bentuk evaluasi yang mencakup nilai-nilai dan tanggung jawab sosial perusahaan adalah Audit Sosial.
Sumber :
DR. A. Sonny Keraf. 2006. Etika Bisnis. Yogyakarta : Kanisius.
ETIKA UTILITARIANISME DALAM BISNIS
1. Etika Utilitarianisme
Dikembangkan pertama kali oleh Jeremi Bentham (1748 -1832). Adalah tentang bagaimana menilai baik buruknya suatu kebijaksanaan sosial politik, ekonomi dan legal secara moral.
2. Kriteria dan Prinsip Etika Utilitarianisme
Manfaat
Manfaat terbesar
Manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang
3. Nilai Positif Etika Utilitarianisme
• Rasionalitas
• Utilitarianisme sangat menghargai kebebasan setiap pelaku moral
• Universalitas
4. Utilitarianisme sebagai Proses dan sebagai Standar Penilaian
• Etika utilitarianisme digunakan sebagai proses untuk mengambil keputusan, kebijaksanaan atau untuk bertindak.
• Etika utilitarianisme sebagai standar penilaian bagi tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan.
5. Analisis Keuntungan dan Kerugian
Dalam Etika Utilitarianisme, manfaat dan kerugian selalu dikaitkan dengan semua orang yang terkait, sehingga analisis keuntungan dan kerugian tidak lagi semata-mata tertuju langsung pada keuntungan bagi perusahaan.
6. Analisis Keuntungan dan Kerugian dalam Kerangka Etika Bisnis
1. Keuntungan dan kerugian, cost and benefits, yang dianalisis tidak dipusatkan pada keuntungan dan kerugian perusahaan.
2. Analisis keuntungan dan kerugian tidak ditempatkan dalam kerangka uang.
3. Analisis keuntungan dan kerugian untuk jangka panjang.
7. Langkah Konkret yang Perlu Diambil dalam Membuat Kebijaksanaan Bisnis, Berkaitan dengan Analisis Keuntungan dan Kerugian
• Mengumpulkan dan mempertimbangkan alternatif kebijaksanaan dan kegiatan bisnis sebanyak-banyaknya.
• Seluruh alternatif pilihan dalam analisis keuntungan dan kerugian, dinilai berdasarkan keuntungan yang menyangkut aspek-aspek moral.
• Analisis Neraca keuntungan dan kerugian perlu dipertimbangkan dalam kerangka jangka panjang.
8. Kelemahan Etika Utilitarisme
1. Manfaat merupakan konsep yang begitu luas sehingga dalam kenyataan praktis akan menimbulkan kesulitan yang tidak sedikit.
2. Etika utilitarisme tidak pernah menganggap serius nilai suatu tindakan pada dirinya sendiri dan hanya memperhatikan nilai suatu tindakan sejauh berkaitan dengan akibatnya.
3. Etika utilitarisme tidak pernah menganggap serius kemauan baik seseorang.
4. Variabel yang dinilai tidak semuanya dapat dikualifikasi.
5. Seandainya ketiga kriteria dari etika utilitarisme saling bertentangan, maka akan ada kesulitan dalam menentukan proiritas di antara ketiganya.
6. Etika utilitarisme membenarkan hak kelompok minoritas tertentu dikorbankan demi kepentingan mayoritas.
Sumber :
DR. A. Sonny Keraf. 2006. Etika Bisnis. Yogyakarta : Kanisius.
BISNIS DAN ETIKA
1. Mitos Bisnis Amoral
Mengungkapkan suatu keyakinan bahwa antara bisnis dan moralitas atau etika tidak ada hubungan sama sekali. Bisnis tidak punya sangkut paut dengan etika dan moralitas. Etika justru bertentangan dengan bisnis dan akan membuat pelaku bisnis kalah dalam persaingan bisnis yang ketat.
Menurut mitos ini, karena kegiatan orang bisnis adalah melakukan bisnis sebaik mungkin untuk mendapatkan keuntungan, maka yang menjadi pusat perhatian orang bisnis adalah bagaimana memproduksi, mengedarkan, menjual, dan membeli barang dengan memperoleh keuntungan. Singkatnya, sasaran dan tujuan, bahkan tujuan satu-satunya dari bisnis adalah mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya. Maka, orang bisnis tidak perlu memperhatikan imbauan-imbauan, norma-norma dan nilai-nilai moral.
Tanpa mengabaikan kenyataan adanya praktek bisnis yang tidak etis dalam kehidupan sehari-hari, ada beberapa argumen yang dapat diajukan untuk memperlihatkan bahwa mitos bisnis amoral sesungguhnya tidak sepenuhnya benar.
1. Bisnis memang sering diibaratkan dengan judi. Dalam bisnis orang dituntut untuk berani bertaruh, berani mengambil resiko, berani berspekulasi, dan berani mengambil langkah atau strategi tertentu untuk bisa berhasil. Karena itu, orang bisnis memang perlu menerapkan cara dan strategi yang tepat untuk berhasil – karena taruhannya besar. Cara dan strategi bisnis pun harus etis, karena dalam bisnis ada nilai manusiawi yang dipertaruhkan.
2. Tidak sepenuhnya benar bahwa sebagai sebuah permainan (judi), dunia bisnis mempunyai aturan main sendiri yang berbeda sama sekali dari aturan yang berlaku dalam kehidupan sosial pada umumnya. Alasannya, karena bisnis adalah bagian (aktivitas) yang penting dari masyarakat. Itu berarti norma yang baik dan berlaku dalam kehidupan, mau tidak mau juga ikut dibawa serta dalam kegiatan dan kehidupan bisnis seorang pelaku bisnis sebagai manusia.
3. Harus dibedakan antara legalitas dan moralitas. Suatu praktek monopoli mungkin saja dibenarkan dan diterima secara legal karena ada dasar hukumnya. Namun tidak dengan sendirinya benar bahwa praktek ini dibenarkan dan diterima secara moral. Karena itu, anggapan bahwa suatu kegiatan yang diterima secara legal akan diterima secara etis, jelas keliru. Dalam kaitan ini pula, anggapan bahwa orang bisnis hanya perlu memperhatikan aturan hukum tidak sepenuhnya benar.
4. Etika harus dibedakan dari ilmu empiris. Dalam ilmu empiris, suatu fakta yang berulang terus dan terjadi di mana-mana menjadi alasan yang sah bagi kita untuk menarik sebuah teori yang sah dan berlaku universal. Etika tidak mendasarkan norma atau prinsipnya pada kenyataan faktual yang terus berulang.
5. Pemberitaan, surat pembaca, dan berbagai aksi protes yang terjadi di mana-mana untuk mengecam berbagai pelanggaran dalam kegiatan bisnis, menunjukkan bahwa masih banyak orang dan kelompok masyarakat menghendaki agar bisnis dijalankan secara baik dan tetap mengindahkan norma-norma moral. Ini berarti omong kosong kalau dikatakan bisnis tidak punya sangkut pautnya dengan etika.
2. Keuntungan dan Etika
Dari sudut pandang etika, keuntungan bukanlah hal yang buruk. Bahkan secara moral keuntungan merupakan hal yang baik dan diterima. Karena, pertama, keuntungan memungkinkan suatu perusahaan bertahan dalam kegiatan bisnisnya. Kedua, tanpa memperoleh keuntungan tidak ada pemilik modal yang bersedia menanamkan modalnya, berarti tidak akan terjadi aktivitas ekonomi yang produktif demi memacu pertumbuhan ekonomi nasional. Ketiga, keuntungan memungkinkan perusahaan menghidupi karyawan-karyawannya pada tingkat dan taraf hidup yang semakin baik.
Ada beberapa argumen yang dapat diajukan untuk menunjukkan bahwa demi memperoleh keuntungan etika sangat dibutuhkan.
1. Dalam bisnis modern dewasa ini para pelaku bisnis dituntut untuk menjadi orang-orang yang profesional dalam bidangnya.
2. Dalam persaingan bisnis yang ketat para pelaku bisnis modern sangat sadar bahwa konsumen adalah benar-benar raja.
3. Dalam sistem pasar terbuka dengan peran pemerintah yang bersifat netral tak berpihak tetapi efektif menjaga agar kepentingan dan hak semua pihak dijamin, para pelaku bisnis sebisa mungkin untuk menghindari campur tangan pemerintah, yang baginya akan sangat merugikan kelangsungan bisnisnya.
4. Perusahaan-perusahaan modern juga semakin menyadari bahwa karyawan bukanlah tenaga yang siap untuk dieksploitasi demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Berdasarkan argumen-argumen pada bagian ini, maupun pada bagian sebelumnya, terlihat jelas bahwa mitos bisnis amoral adalah mitos yang tidak benar. Anggapan bahwa bisnis adalah kegiatan yang amoral, yaitu kegiatan yang tidak ada sangkut pautnya dengan moralitas, adalah sama sekali tidak benar. Justru sebaliknya, bisnis sangat berkaitan dengan etika bahkan sangat mengandalkan etika. Dengan kata lain, bisnis memang punya etika dan karena itu etika bisnis memang relevan untuk dibicarakan.
Pertanyaannya adalah, mengapa masih ada saja praktek-praktek bisnis yang secara terang-terangan melanggar norma dan nilai-nilai moral yang siapa pun akan mengutuknya. Ada beberapa jawaban yang bisa diberikan di sini.
1. Adalah hal yang manusiawi bahwa tidak ada seorang pun yang bersih dan seratus persen etis dan bermoral dalam seluruh tindakannya.
2. Secara khusus untuk bisnis di Indonesia, praktek bisnis yang tidak etis, tidak baik, tidak fair yang sering kita temukan dalam dunia bisnis kita, sesungguhnya disebabkan adanya peluang yang diberikan oleh sistem ekonomi dan politik kita.
3. Ada kemungkinan lain bahwa praktek bisnis tertentu melanggar norma dan nilai moral tertentu karena pelakunya berada dalam keadaan terpaksa.
3. Sasaran dan Lingkup Etika Bisnis
Ada tiga sasaran dan lingkup pokok etika bisnis, yaitu:
1. Etika bisnis sebagai etika profesi membahas berbagai prinsip, kondisi, dan masalah yang terkait dengan praktek bisnis yang baik dan etis. Etika bisnis ini sering ditujukan kepada para manajer dan pelaku bisnis juga disebut sebagai etika manajemen.
2. Untuk menyadarkan masyarakat, khususnya konsumen, buruh atau karyawan, dan masyarakat luas pemilik aset umum semacam lingkungan hidup, akan hak dan kepentingan mereka yang tidak boleh dilanggar oleh praktek bisnis siapa pun juga.
3. Etika bisnis juga berbicara mengenai sistem ekonomi yang sangat menentukan etis tidaknya suatu praktek bisnis. Dalam hal ini, lebih bersifat makro atau sebagai etika ekonomi.
Ketiga lingkup dan sasaran etika bisnis ini berkaitan erat satu dengan yang lainnya, dan bersama-sama menentukan baik tidaknya, etis tidaknya praktek bisnis.
4. Prinsip-prinsip Etika Bisnis
1. Prinsip otonomi
Otonomi adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadaran sendiri tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan. Orang yang otonom adalah orang yang bebas mengambil keputusan dan tindakan serta bertanggung jawab atas keputusan dan tindakannya tersebut.
2. Prinsip Kejujuran
Berikut ini tiga lingkup kegiatan bisnis agar para pelaku bisnis modern sadar dan mengakui bahwa memang kejujuran dalam berbisnis adalah keberhasilannya, termasuk untuk bertahan dalam jangka panjang, dalam suasana bisnis penuh persaingan yang ketat.
Kejujuran relevan dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak.
Kejujuran juga relevan dalam penawaran barang dan jasa dengan mutu dan harga sebanding.
Kejujuran juga relevan dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan.
3. Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai dengan kriteria yang rasional objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
5. Etos Bisnis
Etos bisnis adalah suatu kebiasaan atau budaya moral menyangkut kegiatan bisnis yang dianut dalam suatu perusahaan dari satu generasi ke generasi yang lain. Inti etos ini adalah pembudayaan atau pembiasaan penghayatan akan nilai, norma, atau prinsip moral tertentu yang dianggap sebagai inti kekuatan dari suatu perusahaan yang juga membedakannya dari perusahaan yang lain. Etos bisnis dibangun atas dasar visi atau filsafat bisnis pendiri perusahaan sebagai penghayatan tentang bisnis yang baik.
Sumber :
DR. A. Sonny Keraf. 2006. Etika Bisnis. Yogyakarta : Kanisius.
BISNIS : SEBUAH PROFESI ETIS ?
1. Etika Terapan
Secara umum Etika dibagi menjadi :
a. Etika Umum berbicara mengenai norma dan nilai moral, kondisi-kondisi dasar bagi manusia untuk bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika, lembaga-lembaga normatif (yang terpenting di antaranya adalah suara hati) dan semacamnya.
b. Etika Khusus adalah penerapan prinsip-prinsip atau norma-norma moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Etika khusus dibagi lagi menjadi tiga, yaitu:
1. Etika individual, lebih menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri yaitu prinsip integritas pribadi, yang berbicara mengenai perilaku individual tertentu dalam rangka menjaga dan mempertahankan nama baiknya sebagai pribadi moral.
2. Etika sosial, berbicara mengenai kewajiban dan hak, sikap dan pola perilaku manusia sebagai makhluk sosial dalam interaksinya dengan sesamanya.
3. Etika lingkungan hidup, berbicara mengenai hubungan antara manusia baik sebagai individu maupun sebagai kelompok dengan lingkungan alam yang lebih luas dalam totalitasnya, dan juga hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya yang berdampak langsung atau tidak langsung pada lingkungan hidup secara keseluruhan.
Etika sebagai Refleksi adalah pemikiran moral. Etika sebagai refleksi krisis rasional meneropongi dan merefleksi kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada norma dan nilai moral yang ada di satu pihak dan situasi khusus dari bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang dilakukan setiap orang atau kelompok orang dalam suatu masyarakat.
Dalam etika sebagai refleksi kita berfikir tentang apa yang dilakukan dari khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Etika sebagai refleksi menyoroti dan menilai baik buruknya perilaku orang. Etika dalam arti ini dapat dijalankan pada taraf populer maupun ilmiah.
2. Etika Profesi
a. Pengertian Profesi
Profesi dapat dirumuskan sebagai pekerjaan yang dilakukan sebagai nafkah hidup dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi dan dengan melibatkan komitmen pribadi (moral) yang mendalam.
Orang Profesional adalah orang yang melakukan suatu pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan keahlian dan ketrampilan yang tinggi serta punya komitmen pribadi yang mendalam atas pekerjaannya itu. Dengan kata lain, orang profesional adalah orang yang melakukan suatu pekerjaan karena ahli di bidang tersebut dan meluangkan seluruh waktu, tenaga dan perhatiannya untuk pekerjaan tersebut.
Orang yang profesional adalah orang yang mempunyai komitmen pribadi yang mendalam atas pekerjaannya itu. Ia melibatkan seluruh dirinya dan dengan giat, tekun, dan serius menjalankan pekerjaannya itu. Karena, dia sadar dan yakin bahwa pekerjaannya telah menyatu dengan dirinya. Komitmen pribadi inilah yang melahirkan tanggung jawab yang besar dan mendalam atas pekerjaannya itu.
Dengan demikian profesi memang sebuah pekerjaan, tetapi sekaligus tidak sama begitu saja dengan pekerjaan pada umumnya. Profesi mempunyai tuntutan yang sangat tinggi, bukan saja dari luar melainkan terutama dari dalam diri orang itu sendiri. Tuntutan ini menyangkut tidak saja keahlian, melainkan juga komitmen moral: tanggung jawab, keseriusan, disiplin, dan integritas pribadi.
b. Ciri-ciri Profesi
Adanya keahlian dan keterampilan khusus
Keahlian dan keterampilan khusus ini umumnya dimiliki dengan kadar, lingkup, dan tingkat yang melebihi keahlian dan keterampilan orang kebanyakan lainnya. Biasanya dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang diperolehnya selama bertahun-tahun. Pengetahuan dan keterampilan ini memungkinkan orang profesional itu menjalankan tugasnya dengan tingkat keberhasilan dan mutu yang paling baik. Sehingga, masyarakat mempercayakan persoalan yang dihadapinya pada orang yang profesional ini.
Adanya komitmen moral yang tinggi
Komitmen moral ini biasanya dituangkan, khususnya untuk profesi yang luhur dalam bentuk aturan khusus yang menjadi pegangan bagi setiap orang yang mengemban profesi yang bersangkutan. Aturan main dalam menjalankan atau mengemban profesi tersebut biasanya disebut Kode Etik. Ada 2 sasaran pokok dari kode etik, yaitu :
- Kode etik bermaksud melindungi masyarakat dari kemungkinan dirugikan oleh kelalaian entah secara sengaja atau tidak sengaja dari kaum professional.
- Kode etik bertujuan melindungi keluhuran profesi tersebut dari perilaku-perilaku bobrok orang-orang tertentu yang mengaku diri professional.
Biasanya orang yang profesional adalah orang yang hidup dari profesinya
Biasanya ia dibayar dengan gaji yang sangat tinggi sebagai konsekuensi dari pengerahan seluruh tenaga, pikiran, keahlian, keterampilan. Selain itu, profesinya telah membentuk identitas orang tersebut sehingga ia dikenal dalam masyarakat melalui dan karena profesinya.
Pengabdian kepada masyarakat
Adanya komitmen moral yang tertuang dalam kode etik profesi ataupun sumpah jabatan menyiratkan bahwa orang-orang yang mengemban profesi tertentu, khususnya profesi luhur, lebih mendahulukan dan mengutamakan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadinya. Dengan kata lain, orang yang profesional punya komitmen moral untuk memecahkan persoalan yang dihadapi kliennya sampai tuntas.
Pada profesi luhur biasanya ada izin khusus untuk menjalankan profesi tersebut
Keberadaan izin khusus, karena menyangkut kepentingan orang banyak, dan terkait dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup, kesehatan dan sebagainya. Izin khusus bertujuan untuk melindungi masyarakat dari pelaksanaan profesi yang tidak becus. Atau izin merupakan bentuk perlindungan awal atas kepentingan masyarakat
Izin juga sesungguhnya merupakan tanda bahwa orang tersebut mempunyai keahlian, ketrampilan dan komitmen moral yang diandalkan dan dapat dipercaya. Wujud dari izin, bisa berbentuk surat izin, sumpah, kaul, atau pengukuhan resmi di depan umum. Yang berhak memberi izin adalah negara sebagai penjamin tertinggi kepentingan masyarakat.
Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu organisasi profesi
• Contoh : IDI, IAI.
• Tujuan organisasi profesi ini terutama adalah untuk menjaga dan melindungi keluhuran profesi tersebut.
• Tugas Pokoknya adalah menjaga agar standar keahlian dan ketrampilan tidak dilanggar, kode etik tidak dilanggar, dan berarti menjaga agar kepentingan masyarakat tidak dirugikan oleh pelaksanaan profesi tersebut oleh anggota manapun.
c. Prinsip-prinsip Etika Profesi
• Prinsip Tanggung Jawab
- Bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan dan terhadap hasilnya.
- Bertanggung jawab atas dampak profesinya ini terhadap kehidupan orang lain, khususnya kepentingan orang-orang yang dilayani.
Bentuk : mengganti kerugian, pengakuan jujur dan tulus secara moral sebagai telah melakukan kesalahan, mundur dari jabatan dan sebagainya.
• Prinsip Keadilan
Prinsip ini terutama menuntut orang yang profesional agar dalam menjalankan profesinya ia tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, khususnya orang-orang yang dilayani dalam rangka profesinya.
• Prinsip Otonomi
Prinsip yang dituntut oleh kalangan profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Karena hanya kaum profesional ahli dan terampil dalam bidang profesinya, tidak boleh ada pihak luar yang ikut campur tangan dalam pelaksanaan profesi tersebut.
Batas-batas prinsip otonomi :
- Tanggung jawab dan komitmen profesional (keahlian dan moral) atas kemajuan profesi tersebut serta (dampaknya pada) kepentingan masyarakat.
- Kendati pemerintah di tempat pertama menghargai otonomi kaum profesional, pemerintah tetap menjaga, dan pada waktunya malah ikut campur tangan, agar pelaksanaan profesi tertentu tidak sampai merugikan kepentingan umum.
• Prinsip Integritas Moral
Prinsip ini merupakan tuntutan kaum profesional atas dirinya sendiri bahwa dalam menjalankan tugas profesinya ia tidak akan sampai merusak nama baiknya serta citra dan martabat profesinya.
3. Menuju Bisnis sebagai Profesi Luhur
Sesungguhnya bisnis bukanlah merupakan profesi, kalau bisnis dianggap sebagai pekerjaan kotor, kendati kata profesi, profesional dan profesionalisme sering begitu diobral dalam kaitan dengan kegiatan bisnis. Namun dipihak lain tidak dapat disangkal bahwa ada banyak orang bisnis dan juga perusahaan yang sangat menghayati pekerjaan dan kegiatan bisnisnya sebagai sebuah profesi. Mereka tidak hanya mempunyai keahlian dan ketrampilan yang tinggi tapi punya komitmen moral yang mendalam. Karena itu, bukan tidak mungkin bahwa bisnis pun dapat menjadi sebuah profesi dalam pengertian sebenar-benarnya bahkan menjadi sebuah profesi luhur.
a. Pandangan Praktis-Realistis
• Pandangan ini bertumpu pada kenyataan yang diamati berlaku dalam dunia bisnis dewasa ini. Pandangan ini didasarkan pada apa yang umumnya dilakukan oleh orang-orang bisnis. Pandangan ini melihat bisnis sebagai suatu kegiatan di antara manusia yang menyangkut memproduksi, menjual dan membeli barang dan jasa untuk memperoleh keuntungan.
• Bisnis adalah suatu kegiatan Profit Making. Dasar pemikirannya adalah bahwa orang yang terjun ke dalam bisnis tidak punya keinginan dan tujuan lain selain ingin mencari keuntungan. Kegiatan bisnis adalah kegiatan ekonomis dan bukan kegiatan sosial. Karena itu, keuntungan itu sah untuk menunjang kegiatan bisnis. Tanpa keuntungan bisnis tidak bisa jalan.
Asumsi Adam Smith :
• Dalam masyarakat modern telah terjadi pembagian kerja di mana setiap orang tidak bisa lagi mengerjakan segala sesuatu sekaligus dan bisa memenuhi semua kebutuhan hidupnya sendiri.
• Semua orang tanpa terkecuali mempunyai kecenderungan dasar untuk membuat kondisi hidupnya menjadi lebih baik.
b. Pandangan Ideal
• Disebut pandangan ideal, karena dalam kenyataannya masih merupakan suatu hal yang ideal mengenai dunia bisnis. Sebagai pandangan yang ideal pandangan ini baru dianut oleh segelintir orang yang dipengaruhi oleh idealisme tertentu berdasarkan nilai tertentu yang dianutnya.
• Menurut pandangan ini, bisnis tidak lain adalah suatu kegiatan diantara manusia yang menyangkut memproduksi, menjual, dan membeli barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
• Dasar pemikirannya adalah pertukaran timbal balik secara fair di antara pihak-pihak yang terlibat. Maka yang mau ditegakkan dalam bisnis yang menyangkut pandangan ini adalah keadilan komutatif, khususnya keadilan tukar atau pertukaran dagang yang fair.
• Menurut Adam Smith, pertukaran dagang terjadi karena satu orang memproduksi lebih banyak barang tertentu sementara ia sendiri membutuhkan barang lain yang tidak bisa dibuatnya sendiri.
• Menurut Matsushita (pendiri perusahan Matsushita Inc di Jepang), tujuan bisnis sebenarnya bukanlah mencari keuntungan melainkan untuk melayani kebutuhan masyarakat. Sedangkan keuntungan tidak lain hanyalah simbol kepercayaan masyarakat atas kegiatan bisnis suatu perusahaan. Artinya, karena masyarakat merasa kebutuhan hidupnya dipenuhi secara baik mereka akan menyukai produk perusahaan tersebut yang memang dibutuhkannya tapi sekaligus juga puas dengan produk tersebut.
• Dengan melihat kedua pandangan berbeda di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa citra jelek dunia bisnis sedikit banyaknya disebabkan oleh pandangan pertama yang melihat bisnis sekadar sebagai mencari keuntungan.
• Atas dasar ini, persoalan yang dihadapi di sini adalah bagaimana mengusahakan agar keuntungan yang diperoleh ini memang wajar, halal, dan fair. Terlepas dari pandangan mana yang dianut, keuntungan tetap menjadi hal pokok bagi bisnis. Masalahnya adalah apakah mengejar keuntungan lalu berarti mengabaikan etika dan moralitas? Yang penting adalah bagaimana keuntungan ini sendiri tercapai.
• Salah satu upaya untuk membangun bisnis sebagai profesi yang luhur adalah dengan membentuk, mendukung dan memperkuat organisasi profesi. Melalui organisasi profesi tersebut bisnis bisa dikembangkan sebagai sebuah profesi dalam pengertian sebenar-benarnya sebagaimana dibahas disini, kalau bukan menjadi profesi luhur.
Sumber :
DR. A. Sonny Keraf. 2006. Etika Bisnis. Yogyakarta : Kanisius.
Secara umum Etika dibagi menjadi :
a. Etika Umum berbicara mengenai norma dan nilai moral, kondisi-kondisi dasar bagi manusia untuk bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika, lembaga-lembaga normatif (yang terpenting di antaranya adalah suara hati) dan semacamnya.
b. Etika Khusus adalah penerapan prinsip-prinsip atau norma-norma moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Etika khusus dibagi lagi menjadi tiga, yaitu:
1. Etika individual, lebih menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri yaitu prinsip integritas pribadi, yang berbicara mengenai perilaku individual tertentu dalam rangka menjaga dan mempertahankan nama baiknya sebagai pribadi moral.
2. Etika sosial, berbicara mengenai kewajiban dan hak, sikap dan pola perilaku manusia sebagai makhluk sosial dalam interaksinya dengan sesamanya.
3. Etika lingkungan hidup, berbicara mengenai hubungan antara manusia baik sebagai individu maupun sebagai kelompok dengan lingkungan alam yang lebih luas dalam totalitasnya, dan juga hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya yang berdampak langsung atau tidak langsung pada lingkungan hidup secara keseluruhan.
Etika sebagai Refleksi adalah pemikiran moral. Etika sebagai refleksi krisis rasional meneropongi dan merefleksi kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada norma dan nilai moral yang ada di satu pihak dan situasi khusus dari bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang dilakukan setiap orang atau kelompok orang dalam suatu masyarakat.
Dalam etika sebagai refleksi kita berfikir tentang apa yang dilakukan dari khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Etika sebagai refleksi menyoroti dan menilai baik buruknya perilaku orang. Etika dalam arti ini dapat dijalankan pada taraf populer maupun ilmiah.
2. Etika Profesi
a. Pengertian Profesi
Profesi dapat dirumuskan sebagai pekerjaan yang dilakukan sebagai nafkah hidup dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi dan dengan melibatkan komitmen pribadi (moral) yang mendalam.
Orang Profesional adalah orang yang melakukan suatu pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan keahlian dan ketrampilan yang tinggi serta punya komitmen pribadi yang mendalam atas pekerjaannya itu. Dengan kata lain, orang profesional adalah orang yang melakukan suatu pekerjaan karena ahli di bidang tersebut dan meluangkan seluruh waktu, tenaga dan perhatiannya untuk pekerjaan tersebut.
Orang yang profesional adalah orang yang mempunyai komitmen pribadi yang mendalam atas pekerjaannya itu. Ia melibatkan seluruh dirinya dan dengan giat, tekun, dan serius menjalankan pekerjaannya itu. Karena, dia sadar dan yakin bahwa pekerjaannya telah menyatu dengan dirinya. Komitmen pribadi inilah yang melahirkan tanggung jawab yang besar dan mendalam atas pekerjaannya itu.
Dengan demikian profesi memang sebuah pekerjaan, tetapi sekaligus tidak sama begitu saja dengan pekerjaan pada umumnya. Profesi mempunyai tuntutan yang sangat tinggi, bukan saja dari luar melainkan terutama dari dalam diri orang itu sendiri. Tuntutan ini menyangkut tidak saja keahlian, melainkan juga komitmen moral: tanggung jawab, keseriusan, disiplin, dan integritas pribadi.
b. Ciri-ciri Profesi
Adanya keahlian dan keterampilan khusus
Keahlian dan keterampilan khusus ini umumnya dimiliki dengan kadar, lingkup, dan tingkat yang melebihi keahlian dan keterampilan orang kebanyakan lainnya. Biasanya dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang diperolehnya selama bertahun-tahun. Pengetahuan dan keterampilan ini memungkinkan orang profesional itu menjalankan tugasnya dengan tingkat keberhasilan dan mutu yang paling baik. Sehingga, masyarakat mempercayakan persoalan yang dihadapinya pada orang yang profesional ini.
Adanya komitmen moral yang tinggi
Komitmen moral ini biasanya dituangkan, khususnya untuk profesi yang luhur dalam bentuk aturan khusus yang menjadi pegangan bagi setiap orang yang mengemban profesi yang bersangkutan. Aturan main dalam menjalankan atau mengemban profesi tersebut biasanya disebut Kode Etik. Ada 2 sasaran pokok dari kode etik, yaitu :
- Kode etik bermaksud melindungi masyarakat dari kemungkinan dirugikan oleh kelalaian entah secara sengaja atau tidak sengaja dari kaum professional.
- Kode etik bertujuan melindungi keluhuran profesi tersebut dari perilaku-perilaku bobrok orang-orang tertentu yang mengaku diri professional.
Biasanya orang yang profesional adalah orang yang hidup dari profesinya
Biasanya ia dibayar dengan gaji yang sangat tinggi sebagai konsekuensi dari pengerahan seluruh tenaga, pikiran, keahlian, keterampilan. Selain itu, profesinya telah membentuk identitas orang tersebut sehingga ia dikenal dalam masyarakat melalui dan karena profesinya.
Pengabdian kepada masyarakat
Adanya komitmen moral yang tertuang dalam kode etik profesi ataupun sumpah jabatan menyiratkan bahwa orang-orang yang mengemban profesi tertentu, khususnya profesi luhur, lebih mendahulukan dan mengutamakan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadinya. Dengan kata lain, orang yang profesional punya komitmen moral untuk memecahkan persoalan yang dihadapi kliennya sampai tuntas.
Pada profesi luhur biasanya ada izin khusus untuk menjalankan profesi tersebut
Keberadaan izin khusus, karena menyangkut kepentingan orang banyak, dan terkait dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup, kesehatan dan sebagainya. Izin khusus bertujuan untuk melindungi masyarakat dari pelaksanaan profesi yang tidak becus. Atau izin merupakan bentuk perlindungan awal atas kepentingan masyarakat
Izin juga sesungguhnya merupakan tanda bahwa orang tersebut mempunyai keahlian, ketrampilan dan komitmen moral yang diandalkan dan dapat dipercaya. Wujud dari izin, bisa berbentuk surat izin, sumpah, kaul, atau pengukuhan resmi di depan umum. Yang berhak memberi izin adalah negara sebagai penjamin tertinggi kepentingan masyarakat.
Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu organisasi profesi
• Contoh : IDI, IAI.
• Tujuan organisasi profesi ini terutama adalah untuk menjaga dan melindungi keluhuran profesi tersebut.
• Tugas Pokoknya adalah menjaga agar standar keahlian dan ketrampilan tidak dilanggar, kode etik tidak dilanggar, dan berarti menjaga agar kepentingan masyarakat tidak dirugikan oleh pelaksanaan profesi tersebut oleh anggota manapun.
c. Prinsip-prinsip Etika Profesi
• Prinsip Tanggung Jawab
- Bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan dan terhadap hasilnya.
- Bertanggung jawab atas dampak profesinya ini terhadap kehidupan orang lain, khususnya kepentingan orang-orang yang dilayani.
Bentuk : mengganti kerugian, pengakuan jujur dan tulus secara moral sebagai telah melakukan kesalahan, mundur dari jabatan dan sebagainya.
• Prinsip Keadilan
Prinsip ini terutama menuntut orang yang profesional agar dalam menjalankan profesinya ia tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, khususnya orang-orang yang dilayani dalam rangka profesinya.
• Prinsip Otonomi
Prinsip yang dituntut oleh kalangan profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Karena hanya kaum profesional ahli dan terampil dalam bidang profesinya, tidak boleh ada pihak luar yang ikut campur tangan dalam pelaksanaan profesi tersebut.
Batas-batas prinsip otonomi :
- Tanggung jawab dan komitmen profesional (keahlian dan moral) atas kemajuan profesi tersebut serta (dampaknya pada) kepentingan masyarakat.
- Kendati pemerintah di tempat pertama menghargai otonomi kaum profesional, pemerintah tetap menjaga, dan pada waktunya malah ikut campur tangan, agar pelaksanaan profesi tertentu tidak sampai merugikan kepentingan umum.
• Prinsip Integritas Moral
Prinsip ini merupakan tuntutan kaum profesional atas dirinya sendiri bahwa dalam menjalankan tugas profesinya ia tidak akan sampai merusak nama baiknya serta citra dan martabat profesinya.
3. Menuju Bisnis sebagai Profesi Luhur
Sesungguhnya bisnis bukanlah merupakan profesi, kalau bisnis dianggap sebagai pekerjaan kotor, kendati kata profesi, profesional dan profesionalisme sering begitu diobral dalam kaitan dengan kegiatan bisnis. Namun dipihak lain tidak dapat disangkal bahwa ada banyak orang bisnis dan juga perusahaan yang sangat menghayati pekerjaan dan kegiatan bisnisnya sebagai sebuah profesi. Mereka tidak hanya mempunyai keahlian dan ketrampilan yang tinggi tapi punya komitmen moral yang mendalam. Karena itu, bukan tidak mungkin bahwa bisnis pun dapat menjadi sebuah profesi dalam pengertian sebenar-benarnya bahkan menjadi sebuah profesi luhur.
a. Pandangan Praktis-Realistis
• Pandangan ini bertumpu pada kenyataan yang diamati berlaku dalam dunia bisnis dewasa ini. Pandangan ini didasarkan pada apa yang umumnya dilakukan oleh orang-orang bisnis. Pandangan ini melihat bisnis sebagai suatu kegiatan di antara manusia yang menyangkut memproduksi, menjual dan membeli barang dan jasa untuk memperoleh keuntungan.
• Bisnis adalah suatu kegiatan Profit Making. Dasar pemikirannya adalah bahwa orang yang terjun ke dalam bisnis tidak punya keinginan dan tujuan lain selain ingin mencari keuntungan. Kegiatan bisnis adalah kegiatan ekonomis dan bukan kegiatan sosial. Karena itu, keuntungan itu sah untuk menunjang kegiatan bisnis. Tanpa keuntungan bisnis tidak bisa jalan.
Asumsi Adam Smith :
• Dalam masyarakat modern telah terjadi pembagian kerja di mana setiap orang tidak bisa lagi mengerjakan segala sesuatu sekaligus dan bisa memenuhi semua kebutuhan hidupnya sendiri.
• Semua orang tanpa terkecuali mempunyai kecenderungan dasar untuk membuat kondisi hidupnya menjadi lebih baik.
b. Pandangan Ideal
• Disebut pandangan ideal, karena dalam kenyataannya masih merupakan suatu hal yang ideal mengenai dunia bisnis. Sebagai pandangan yang ideal pandangan ini baru dianut oleh segelintir orang yang dipengaruhi oleh idealisme tertentu berdasarkan nilai tertentu yang dianutnya.
• Menurut pandangan ini, bisnis tidak lain adalah suatu kegiatan diantara manusia yang menyangkut memproduksi, menjual, dan membeli barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
• Dasar pemikirannya adalah pertukaran timbal balik secara fair di antara pihak-pihak yang terlibat. Maka yang mau ditegakkan dalam bisnis yang menyangkut pandangan ini adalah keadilan komutatif, khususnya keadilan tukar atau pertukaran dagang yang fair.
• Menurut Adam Smith, pertukaran dagang terjadi karena satu orang memproduksi lebih banyak barang tertentu sementara ia sendiri membutuhkan barang lain yang tidak bisa dibuatnya sendiri.
• Menurut Matsushita (pendiri perusahan Matsushita Inc di Jepang), tujuan bisnis sebenarnya bukanlah mencari keuntungan melainkan untuk melayani kebutuhan masyarakat. Sedangkan keuntungan tidak lain hanyalah simbol kepercayaan masyarakat atas kegiatan bisnis suatu perusahaan. Artinya, karena masyarakat merasa kebutuhan hidupnya dipenuhi secara baik mereka akan menyukai produk perusahaan tersebut yang memang dibutuhkannya tapi sekaligus juga puas dengan produk tersebut.
• Dengan melihat kedua pandangan berbeda di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa citra jelek dunia bisnis sedikit banyaknya disebabkan oleh pandangan pertama yang melihat bisnis sekadar sebagai mencari keuntungan.
• Atas dasar ini, persoalan yang dihadapi di sini adalah bagaimana mengusahakan agar keuntungan yang diperoleh ini memang wajar, halal, dan fair. Terlepas dari pandangan mana yang dianut, keuntungan tetap menjadi hal pokok bagi bisnis. Masalahnya adalah apakah mengejar keuntungan lalu berarti mengabaikan etika dan moralitas? Yang penting adalah bagaimana keuntungan ini sendiri tercapai.
• Salah satu upaya untuk membangun bisnis sebagai profesi yang luhur adalah dengan membentuk, mendukung dan memperkuat organisasi profesi. Melalui organisasi profesi tersebut bisnis bisa dikembangkan sebagai sebuah profesi dalam pengertian sebenar-benarnya sebagaimana dibahas disini, kalau bukan menjadi profesi luhur.
Sumber :
DR. A. Sonny Keraf. 2006. Etika Bisnis. Yogyakarta : Kanisius.
TEORI-TEORI ETIKA BISNIS
1. Pengertian Etika
Untuk memahami apa itu etika, sesungguhnya kita perlu membandingkannya dengan moralitas. Tapi perlu diingat bahwa etika bisa saja punya pengertian yang berbeda dengan moralitas. Secara teoritis, dapat dibedakan dua pengertian etika.
Pertama, etika berasal dari kata Yunani ethos (ta etha) yang berarti ‘adat istiadat’ atau ‘kebiasaan’. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Sedangkan moralitas berasal dari kata Latin mos (mores) yang juga berarti ‘adat istiadat’ atau ‘kebiasaan’. Dengan demikian etika dan moralitas memberi petunjuk konkret tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik sebagai manusia begitu saja, kendati petunjuk konkret itu bisa disalurkan melalui dan bersumber dari agama atau kebudayaan tertentu.
Kedua, etika juga dipahami dalam pengertian yang sekaligus berbeda dengan moralitas. Etika dapat dirumuskan sebagai refleksi kritis dan rasional mengenai (a) nilai dan norma yang menyangkut manusia harus hidup baik sebagai manusia, dan mengenai (b) masalah-masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan norma-norma moral yang umum diterima. Karena etika adalah refleksi kritis terhadap moralitas, maka etika tidak bermaksud membuat manusia bertindak sesuai dengan moralitas begitu saja.
2. Tiga Norma Umum
Dalam hidup ini, banyak norma yang memberi pedoman tentang bagaimana kita harus hidup dan bertindak secara baik dan tepat. Sekaligus menjadi dasar bagi penilaian mengenai baik buruknya perilaku dan tindakan kita.
Secara umum terdapat dua macam norma, yaitu :
1. Norma-norma khusus, adalah aturan yang berlaku dalam bidang kegiatan atau kehidupan khusus. Misalnya, aturan olahraga, pendidikan, lebih khusus lagi aturan di suatu sekolah, dan sebagainya.
2. Norma-norma umum, lebih bersifat umum dan sampai tingkat tertentu boleh dikatakan bersifat universal. Norma-norma umum ini ada tiga macam, yaitu sebagai berikut.
a. Norma sopan santun atau juga disebut norma etiket, adalah norma yang mengatur pola perilaku dan sikap lahiriah manusia dalam pergaulan sehari-hari. Misalnya menyangkut sikap dan perilaku seperti bertamu, makan dan minum, duduk, berpakaian, dan sebagainya.
b. Norma hukum adalah norma yang dituntut keberlakuannya secara tegas oleh masyarakat, karena dianggap perlu dan demi keselamatan dan kesejahteraan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Keberlakuan norma ini lebih tegas dan pasti, karena ditunjang dan dijamin oleh hukuman dan sangsi bagi pelanggarannya.
c. Norma moral yaitu aturan mengenai sikap dan perilaku manusia sebagai menusia. Norma ini lalu menjadi tolak ukur yang dipakai oleh masyarakat untuk menentukan baik buruknya tindakan manusia, entah sebagai anggota masyarakat ataupun sebagai orang dengan jabatan atau profesi tertentu.
Ada beberapa ciri utama yang membedakan norma moral dari norma umum lainnya (kendati dalam kaitan dengan norma hukum ciri-ciri ini bisa tumpang tindih) :
a. Kaidah moral berkaitan dengan hal-hal yang mempunyai atau yang dianggap mempunyai konsekuensi yang serius bagi kesejahteraan, kebaikan dan kehidupan manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok.
b. Norma moral tidak ditetapkan dan/atau diubah oleh keputusan penguasa tertentu. Norma moral dan juga norma hukum merupakan ekspresi, cermin dan harapan masyarakat mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Berbeda dengan norma hukum, norma moral tidak dikodifikasikan, tidak ditetapkan atau diubah oleh pemerintah. Ia lebih merupakan hukum tak tertulis dalam hati setiap anggota masyarakat, yang karena itu mengikat semua anggota dari dalam dirinya sendiri
c. Norma moral selalu menyangkut sebuah perasaan khusus tertentu, yang oleh beberapa filsuf moral disebut sebagai perasaan moral (moral sense)
3. Teori Etika
Etika memberi manusia pegangan dalam menjalani kehidupan di dunia. Ini berarti tindakan manusia selalu mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapainya. Berikut ini dua macam teori etika, yaitu sebagai berikut.
a. Etika Deontologi
Istilah ‘deontologi’ berasal dari kata Yunani deon, yang berarti kewajiban. Karena itu, etika deontologi ini menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Misanya, suatu tindakan bisnis akan dinilai baik oleh etika deontologi bukan karena tindakan itu mendatangkan akibat baik bagi pelakunya, melainkan karena tindakan itu sejalan dengan kewajiban si pelaku. Seperti, memberikan pelayanan yang baik kepada semua konsumen, dan sebagainya. Atas dasar itu, etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan watak yang kuat dari pelaku.
‘Mengapa perbuatan ini baik dan perbuatan itu harus ditolak sebagai buruk’, deontologi menjawab : ‘karena perbuatan pertama menjadi kewajiban kita dan karena perbuatan kedua dilarang’. Yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan adalah kewajiban. Pendekatan deontologi sudah diterima dalam konteks agama, sekarang merupakan juga salah satu teori etika yang terpenting.
Ada tiga prinsip yg harus dipenuhi :
(1) Supaya tindakan punya nilai moral, tindakan ini harus dijalankan berdasarkan kewajiban.
(2) Nilai moral dari tindakan ini tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan itu melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan itu, berarti kalaupun tujuan tidak tercapai, tindakan itu sudah dinilai baik.
(3) Sebagai konsekuensi dari kedua prinsip ini, kewajiban adalah hal yang niscaya dari tindakan yang dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal.
Bagi Kant, Hukum Moral ini dianggapnya sbg perintah tak bersyarat (imperatif kategoris), yang berarti hukum moral ini berlaku bagi semua orang pada segala situasi dan tempat.
Perintah Bersyarat adalah perintah yang dilaksanakan kalau orang menghendaki akibatnya, atau kalau akibat dari tindakan itu merupakan hal yang diinginkan dan dikehendaki oleh orang tersebut. Perintah Tak Bersyarat adalah perintah yang dilaksanakan begitu saja tanpa syarat apapun, yaitu tanpa mengharapkan akibatnya, atau tanpa mempedulikan apakah akibatnya tercapai dan berguna bagi orang tersebut atau tidak.
b. Etika Teleologi
Etika Teleologi, dari kata Yunani, telos = tujuan, yaitu mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu.
Misalnya, mencuri bagi teleologi tidak dinilai baik atau buruk berdasarkan tindakan, melainkan oleh tujuan dan akibat dari tindakan itu. Kalau tujuannya baik, maka tindakan itu dinilai baik. Seperti, seorang anak kecil yang mencuri demi biaya pengobatan ibunya yang sedang sakit. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa etika teleologi lebih situasional, karena tujuan dan akibat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus tertentu.
Dua aliran etika teleologi :
• Egoisme Etis
Inti pandangan egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Satu-satunya tujuan tindakan moral setiap orang adalah mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya. Egoisme ini baru menjadi persoalan serius ketika ia cenderung menjadi hedonistis, yaitu ketika kebahagiaan dan kepentingan pribadi diterjemahkan semata-mata sebagai kenikmatan fisik yg bersifat vulgar.
• Utilitarianisme
Berasal dari bahasa latin utilis yang berarti “bermanfaat”. Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan.
Dalam rangka pemikiran utilitarianisme, kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah “the greatest happiness of the greatest number”, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang yang terbesar.
Utilitarianisme , teori ini cocok sekali dengan pemikiran ekonomis, karena cukup dekat dengan Cost-Benefit Analysis. Manfaat yang dimaksudkan utilitarianisme bisa dihitung sama seperti kita menghitung untung dan rugi atau kredit dan debet dalam konteks bisnis.
Utilitarianisme, dibedakan menjadi dua macam :
1. Utilitarianisme Perbuatan (Act Utilitarianism)
2. Utilitarianisme Aturan (Rule Utilitarianism)
c. Teori Hak
Dalam pemikiran moral dewasa ini barangkali teori hak ini adalah pendekatan yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku. Teori Hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi, karena berkaitan dengan kewajiban. Hak dan kewajiban bagaikan dua sisi uang logam yang sama. Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena itu hak sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis.
d. Teori Keutamaan (Virtue)
Memandang sikap atau akhlak seseorang. Tidak ditanyakan apakah suatu perbuatan tertentu adil, atau jujur, atau murah hati dan sebagainya. Keutamaan bisa didefinisikan sebagai berikut : disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral.
Contoh keutamaan :
a. Kebijaksanaan
b. Keadilan
c. Suka bekerja keras
d. Hidup yang baik
Keutamaan-keutamaan yang dimilliki manajer dan karyawan sejauh mereka mewakili perusahaan, adalah : Keramahan, Loyalitas, Kehormatan dan Rasa malu.
Keramahan merupakan inti kehidupan bisnis, keramahan itu hakiki untuk setiap hubungan antar manusia, hubungan bisnis tidak terkecuali. Loyalitas berarti bahwa karyawan tidak bekerja semata-mata untuk mendapat gaji, tetapi mempunyai juga komitmen yang tulus dengan perusahaan. Kehormatan adalah keutamaan yang membuat karyawan menjadi peka terhadap suka dan duka serta sukses dan kegagalan perusahaan. Rasa malu membuat karyawan solider dengan kesalahan perusahaan.
Kesimpulan :
Ketiga lingkup dan sasaran etika bisnis ini berkaitan erat satu dengan yang lainnya, dan bersama-sama menentukan baik tidaknya, etis tidaknya suatu praktek bisnis.
Sumber :
DR. A. Sonny Keraf. 2006. Etika Bisnis. Yogyakarta : Kanisius.
Untuk memahami apa itu etika, sesungguhnya kita perlu membandingkannya dengan moralitas. Tapi perlu diingat bahwa etika bisa saja punya pengertian yang berbeda dengan moralitas. Secara teoritis, dapat dibedakan dua pengertian etika.
Pertama, etika berasal dari kata Yunani ethos (ta etha) yang berarti ‘adat istiadat’ atau ‘kebiasaan’. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Sedangkan moralitas berasal dari kata Latin mos (mores) yang juga berarti ‘adat istiadat’ atau ‘kebiasaan’. Dengan demikian etika dan moralitas memberi petunjuk konkret tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik sebagai manusia begitu saja, kendati petunjuk konkret itu bisa disalurkan melalui dan bersumber dari agama atau kebudayaan tertentu.
Kedua, etika juga dipahami dalam pengertian yang sekaligus berbeda dengan moralitas. Etika dapat dirumuskan sebagai refleksi kritis dan rasional mengenai (a) nilai dan norma yang menyangkut manusia harus hidup baik sebagai manusia, dan mengenai (b) masalah-masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan norma-norma moral yang umum diterima. Karena etika adalah refleksi kritis terhadap moralitas, maka etika tidak bermaksud membuat manusia bertindak sesuai dengan moralitas begitu saja.
2. Tiga Norma Umum
Dalam hidup ini, banyak norma yang memberi pedoman tentang bagaimana kita harus hidup dan bertindak secara baik dan tepat. Sekaligus menjadi dasar bagi penilaian mengenai baik buruknya perilaku dan tindakan kita.
Secara umum terdapat dua macam norma, yaitu :
1. Norma-norma khusus, adalah aturan yang berlaku dalam bidang kegiatan atau kehidupan khusus. Misalnya, aturan olahraga, pendidikan, lebih khusus lagi aturan di suatu sekolah, dan sebagainya.
2. Norma-norma umum, lebih bersifat umum dan sampai tingkat tertentu boleh dikatakan bersifat universal. Norma-norma umum ini ada tiga macam, yaitu sebagai berikut.
a. Norma sopan santun atau juga disebut norma etiket, adalah norma yang mengatur pola perilaku dan sikap lahiriah manusia dalam pergaulan sehari-hari. Misalnya menyangkut sikap dan perilaku seperti bertamu, makan dan minum, duduk, berpakaian, dan sebagainya.
b. Norma hukum adalah norma yang dituntut keberlakuannya secara tegas oleh masyarakat, karena dianggap perlu dan demi keselamatan dan kesejahteraan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Keberlakuan norma ini lebih tegas dan pasti, karena ditunjang dan dijamin oleh hukuman dan sangsi bagi pelanggarannya.
c. Norma moral yaitu aturan mengenai sikap dan perilaku manusia sebagai menusia. Norma ini lalu menjadi tolak ukur yang dipakai oleh masyarakat untuk menentukan baik buruknya tindakan manusia, entah sebagai anggota masyarakat ataupun sebagai orang dengan jabatan atau profesi tertentu.
Ada beberapa ciri utama yang membedakan norma moral dari norma umum lainnya (kendati dalam kaitan dengan norma hukum ciri-ciri ini bisa tumpang tindih) :
a. Kaidah moral berkaitan dengan hal-hal yang mempunyai atau yang dianggap mempunyai konsekuensi yang serius bagi kesejahteraan, kebaikan dan kehidupan manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok.
b. Norma moral tidak ditetapkan dan/atau diubah oleh keputusan penguasa tertentu. Norma moral dan juga norma hukum merupakan ekspresi, cermin dan harapan masyarakat mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Berbeda dengan norma hukum, norma moral tidak dikodifikasikan, tidak ditetapkan atau diubah oleh pemerintah. Ia lebih merupakan hukum tak tertulis dalam hati setiap anggota masyarakat, yang karena itu mengikat semua anggota dari dalam dirinya sendiri
c. Norma moral selalu menyangkut sebuah perasaan khusus tertentu, yang oleh beberapa filsuf moral disebut sebagai perasaan moral (moral sense)
3. Teori Etika
Etika memberi manusia pegangan dalam menjalani kehidupan di dunia. Ini berarti tindakan manusia selalu mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapainya. Berikut ini dua macam teori etika, yaitu sebagai berikut.
a. Etika Deontologi
Istilah ‘deontologi’ berasal dari kata Yunani deon, yang berarti kewajiban. Karena itu, etika deontologi ini menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Misanya, suatu tindakan bisnis akan dinilai baik oleh etika deontologi bukan karena tindakan itu mendatangkan akibat baik bagi pelakunya, melainkan karena tindakan itu sejalan dengan kewajiban si pelaku. Seperti, memberikan pelayanan yang baik kepada semua konsumen, dan sebagainya. Atas dasar itu, etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan watak yang kuat dari pelaku.
‘Mengapa perbuatan ini baik dan perbuatan itu harus ditolak sebagai buruk’, deontologi menjawab : ‘karena perbuatan pertama menjadi kewajiban kita dan karena perbuatan kedua dilarang’. Yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan adalah kewajiban. Pendekatan deontologi sudah diterima dalam konteks agama, sekarang merupakan juga salah satu teori etika yang terpenting.
Ada tiga prinsip yg harus dipenuhi :
(1) Supaya tindakan punya nilai moral, tindakan ini harus dijalankan berdasarkan kewajiban.
(2) Nilai moral dari tindakan ini tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan itu melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan itu, berarti kalaupun tujuan tidak tercapai, tindakan itu sudah dinilai baik.
(3) Sebagai konsekuensi dari kedua prinsip ini, kewajiban adalah hal yang niscaya dari tindakan yang dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal.
Bagi Kant, Hukum Moral ini dianggapnya sbg perintah tak bersyarat (imperatif kategoris), yang berarti hukum moral ini berlaku bagi semua orang pada segala situasi dan tempat.
Perintah Bersyarat adalah perintah yang dilaksanakan kalau orang menghendaki akibatnya, atau kalau akibat dari tindakan itu merupakan hal yang diinginkan dan dikehendaki oleh orang tersebut. Perintah Tak Bersyarat adalah perintah yang dilaksanakan begitu saja tanpa syarat apapun, yaitu tanpa mengharapkan akibatnya, atau tanpa mempedulikan apakah akibatnya tercapai dan berguna bagi orang tersebut atau tidak.
b. Etika Teleologi
Etika Teleologi, dari kata Yunani, telos = tujuan, yaitu mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu.
Misalnya, mencuri bagi teleologi tidak dinilai baik atau buruk berdasarkan tindakan, melainkan oleh tujuan dan akibat dari tindakan itu. Kalau tujuannya baik, maka tindakan itu dinilai baik. Seperti, seorang anak kecil yang mencuri demi biaya pengobatan ibunya yang sedang sakit. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa etika teleologi lebih situasional, karena tujuan dan akibat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus tertentu.
Dua aliran etika teleologi :
• Egoisme Etis
Inti pandangan egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Satu-satunya tujuan tindakan moral setiap orang adalah mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya. Egoisme ini baru menjadi persoalan serius ketika ia cenderung menjadi hedonistis, yaitu ketika kebahagiaan dan kepentingan pribadi diterjemahkan semata-mata sebagai kenikmatan fisik yg bersifat vulgar.
• Utilitarianisme
Berasal dari bahasa latin utilis yang berarti “bermanfaat”. Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan.
Dalam rangka pemikiran utilitarianisme, kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah “the greatest happiness of the greatest number”, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang yang terbesar.
Utilitarianisme , teori ini cocok sekali dengan pemikiran ekonomis, karena cukup dekat dengan Cost-Benefit Analysis. Manfaat yang dimaksudkan utilitarianisme bisa dihitung sama seperti kita menghitung untung dan rugi atau kredit dan debet dalam konteks bisnis.
Utilitarianisme, dibedakan menjadi dua macam :
1. Utilitarianisme Perbuatan (Act Utilitarianism)
2. Utilitarianisme Aturan (Rule Utilitarianism)
c. Teori Hak
Dalam pemikiran moral dewasa ini barangkali teori hak ini adalah pendekatan yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku. Teori Hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi, karena berkaitan dengan kewajiban. Hak dan kewajiban bagaikan dua sisi uang logam yang sama. Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena itu hak sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis.
d. Teori Keutamaan (Virtue)
Memandang sikap atau akhlak seseorang. Tidak ditanyakan apakah suatu perbuatan tertentu adil, atau jujur, atau murah hati dan sebagainya. Keutamaan bisa didefinisikan sebagai berikut : disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral.
Contoh keutamaan :
a. Kebijaksanaan
b. Keadilan
c. Suka bekerja keras
d. Hidup yang baik
Keutamaan-keutamaan yang dimilliki manajer dan karyawan sejauh mereka mewakili perusahaan, adalah : Keramahan, Loyalitas, Kehormatan dan Rasa malu.
Keramahan merupakan inti kehidupan bisnis, keramahan itu hakiki untuk setiap hubungan antar manusia, hubungan bisnis tidak terkecuali. Loyalitas berarti bahwa karyawan tidak bekerja semata-mata untuk mendapat gaji, tetapi mempunyai juga komitmen yang tulus dengan perusahaan. Kehormatan adalah keutamaan yang membuat karyawan menjadi peka terhadap suka dan duka serta sukses dan kegagalan perusahaan. Rasa malu membuat karyawan solider dengan kesalahan perusahaan.
Kesimpulan :
Ketiga lingkup dan sasaran etika bisnis ini berkaitan erat satu dengan yang lainnya, dan bersama-sama menentukan baik tidaknya, etis tidaknya suatu praktek bisnis.
Sumber :
DR. A. Sonny Keraf. 2006. Etika Bisnis. Yogyakarta : Kanisius.
Jumat, 15 Oktober 2010
TEORI-TEORI ETIKA
1. Pengertian Etika
Untuk memahami apa itu etika, sesungguhnya kita perlu membandingkannya dengan moralitas. Tapi perlu diingat bahwa etika bisa saja punya pengertian yang berbeda dengan moralitas. Secara teoritis, dapat dibedakan dua pengertian etika.
Pertama, etika berasal dari kata Yunani ethos (ta etha) yang berarti ‘adat istidat’ atau ‘kebiasaan’. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Sedangkan moralitas berasal dari kata Latin mos (mores) yang juga berarti ‘adat istiadat’ atau ‘kebiasaan’. Dengan demikian etika dan moralitas memberi petunjuk konkret tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik sebagai manusia begitu saja, kendati petunjuk konkret itu bisa disalurkan melalui dan bersumber dari agama atau kebudayaan tertentu.
Kedua, etika juga dipahami dalam pengertian yang sekaligus berbeda dengan moralitas. Etika dapat dirumuskan sebagai refleksi kritis dan rasional mengenai (a) nilai dan norma yang menyangkut manusia harus hidup baik sebagai manusia, dan mengenai (b) masalah-masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan norma-norma moral yang umum diterima. Karena etika adalah refleksi kritis terhadap moralitas, maka etika tidak bermaksud membuat manusia bertindak sesuai dengan moralitas begitu saja.
2. Tiga Norma Umum
Dalam hidup ini, banyak norma yang memberi pedoman tentang bagaimana kita harus hidup dan bertindak secara baik dan tepat. Sekaligus menjadi dasar bagi penilaian mengenai baik buruknya perilaku dan tindakan kita.
Secara umum terdapat dua macam norma, yaitu :
1. Norma-norma khusus, adalah aturan yang berlaku dalam bidang kegiatan atau kehidupan khusus. Misalnya, aturan olahraga, pendidikan, lebih khusus lagi aturan di suatu sekolah, dan sebagainya.
2. Norma-norma umum, lebih bersifat umum dan sampai tingkat tertentu boleh dikatakan bersifat universal. Norma-norma umum ini ada tiga macam, yaitu sebagai berikut.
a. Norma sopan santun atau juga disebut norma etiket, adalah norma yang mengatur pola perilaku dan sikap lahiriah manusia dalam pergaulan sehari-hari. Misalnya menyangkut sikap dan perilaku seperti bertamu, makan dan minum, duduk, berpakaian, dan sebagainya.
b. Norma hukum adalah norma yang dituntut keberlakuannya secara tegas oleh masyarakat, karena dianggap perlu dan demi keselamatan dan kesejahteraan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Keberlakuan norma ini lebih tegas dan pasti, karena ditunjang dan dijamin oleh hukuman dan sangsi bagi pelanggarannya.
c. Norma moral yaitu aturan mengenai sikap dan perilaku manusia sebagai menusia. Norma ini lalu menjadi tolak ukur yang dipakai oleh masyarakat untuk menentukan baik buruknya tindakan manusia, entah sebagai anggota masyarakat ataupun sebagai orang dengan jabatan atau profesi tertentu.
3. Dua Teori Etika
Etika memberi manusia pegangan dalam menjalani kehidupan di dunia. Ini berarti tindakan manusia selalu mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapainya. Berikut ini dua macam teori etika, yaitu sebagai berikut.
a. Etika Deontologi
Istilah ‘deontologi’ berasal dari kata Yunani deon, yang berarti kewajiban. Karena itu, etika deontologi ini menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Misanya, suatu tindakan bisnis akan dinilai baik oleh etika deontologi bukan karena tindakan itu mendatangkan akibat baik bagi pelakunya, melainkan karena tindakan itu sejalan dengan kewajiban si pelaku. Seperti, memberikan pelayanan yang baik kepada semua konsumen, dan sebagainya. Atas dasar itu, etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan watak yang kuat dari pelaku.
b. Etika Teleologi
Sebaliknya dari etika deontologi, etika teleologi ini justru mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Misalnya, mencuri bagi teleologi tidak dinilai baik atau buruk berdasarkan tindakan, melainkan oleh tujuan dan akibat dari tindakan itu. Kalau tujuannya baik, maka tindakan itu dinilai baik. Seperti, seorang anak kecil yang mencuri demi biaya pengobatan ibunya yang sedang sakit. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa etika teleologi lebih situasional, karena tujuan dan akibat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus tertentu.
Kesimpulan :
Ketiga lingkup dan sasaran etika bisnis ini berkaitan erat satu dengan yang lainnya, dan bersama-sama menentukan baik tidaknya, etis tidaknya suatu praktek bisnis.
Sumber :
DR. A. Sonny Keraf. 2006. Etika Bisnis. Yogyakarta : Kanisius.
Untuk memahami apa itu etika, sesungguhnya kita perlu membandingkannya dengan moralitas. Tapi perlu diingat bahwa etika bisa saja punya pengertian yang berbeda dengan moralitas. Secara teoritis, dapat dibedakan dua pengertian etika.
Pertama, etika berasal dari kata Yunani ethos (ta etha) yang berarti ‘adat istidat’ atau ‘kebiasaan’. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Sedangkan moralitas berasal dari kata Latin mos (mores) yang juga berarti ‘adat istiadat’ atau ‘kebiasaan’. Dengan demikian etika dan moralitas memberi petunjuk konkret tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik sebagai manusia begitu saja, kendati petunjuk konkret itu bisa disalurkan melalui dan bersumber dari agama atau kebudayaan tertentu.
Kedua, etika juga dipahami dalam pengertian yang sekaligus berbeda dengan moralitas. Etika dapat dirumuskan sebagai refleksi kritis dan rasional mengenai (a) nilai dan norma yang menyangkut manusia harus hidup baik sebagai manusia, dan mengenai (b) masalah-masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan norma-norma moral yang umum diterima. Karena etika adalah refleksi kritis terhadap moralitas, maka etika tidak bermaksud membuat manusia bertindak sesuai dengan moralitas begitu saja.
2. Tiga Norma Umum
Dalam hidup ini, banyak norma yang memberi pedoman tentang bagaimana kita harus hidup dan bertindak secara baik dan tepat. Sekaligus menjadi dasar bagi penilaian mengenai baik buruknya perilaku dan tindakan kita.
Secara umum terdapat dua macam norma, yaitu :
1. Norma-norma khusus, adalah aturan yang berlaku dalam bidang kegiatan atau kehidupan khusus. Misalnya, aturan olahraga, pendidikan, lebih khusus lagi aturan di suatu sekolah, dan sebagainya.
2. Norma-norma umum, lebih bersifat umum dan sampai tingkat tertentu boleh dikatakan bersifat universal. Norma-norma umum ini ada tiga macam, yaitu sebagai berikut.
a. Norma sopan santun atau juga disebut norma etiket, adalah norma yang mengatur pola perilaku dan sikap lahiriah manusia dalam pergaulan sehari-hari. Misalnya menyangkut sikap dan perilaku seperti bertamu, makan dan minum, duduk, berpakaian, dan sebagainya.
b. Norma hukum adalah norma yang dituntut keberlakuannya secara tegas oleh masyarakat, karena dianggap perlu dan demi keselamatan dan kesejahteraan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Keberlakuan norma ini lebih tegas dan pasti, karena ditunjang dan dijamin oleh hukuman dan sangsi bagi pelanggarannya.
c. Norma moral yaitu aturan mengenai sikap dan perilaku manusia sebagai menusia. Norma ini lalu menjadi tolak ukur yang dipakai oleh masyarakat untuk menentukan baik buruknya tindakan manusia, entah sebagai anggota masyarakat ataupun sebagai orang dengan jabatan atau profesi tertentu.
3. Dua Teori Etika
Etika memberi manusia pegangan dalam menjalani kehidupan di dunia. Ini berarti tindakan manusia selalu mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapainya. Berikut ini dua macam teori etika, yaitu sebagai berikut.
a. Etika Deontologi
Istilah ‘deontologi’ berasal dari kata Yunani deon, yang berarti kewajiban. Karena itu, etika deontologi ini menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Misanya, suatu tindakan bisnis akan dinilai baik oleh etika deontologi bukan karena tindakan itu mendatangkan akibat baik bagi pelakunya, melainkan karena tindakan itu sejalan dengan kewajiban si pelaku. Seperti, memberikan pelayanan yang baik kepada semua konsumen, dan sebagainya. Atas dasar itu, etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan watak yang kuat dari pelaku.
b. Etika Teleologi
Sebaliknya dari etika deontologi, etika teleologi ini justru mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Misalnya, mencuri bagi teleologi tidak dinilai baik atau buruk berdasarkan tindakan, melainkan oleh tujuan dan akibat dari tindakan itu. Kalau tujuannya baik, maka tindakan itu dinilai baik. Seperti, seorang anak kecil yang mencuri demi biaya pengobatan ibunya yang sedang sakit. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa etika teleologi lebih situasional, karena tujuan dan akibat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus tertentu.
Kesimpulan :
Ketiga lingkup dan sasaran etika bisnis ini berkaitan erat satu dengan yang lainnya, dan bersama-sama menentukan baik tidaknya, etis tidaknya suatu praktek bisnis.
Sumber :
DR. A. Sonny Keraf. 2006. Etika Bisnis. Yogyakarta : Kanisius.
PERKEMBANGAN MORAL DAN PENALARAN MORAL
A. Perkembangan Moral
Riset psikologi menunjukkan bahwa perkembangan moral seseorang dapat berubah ketika dewasa. Saat anak-anak, kita secara jujur mengatakan apa yang benar dan apa yang salah, dan patuh untuk menghindari hukuman. Ketika tumbuh menjadi remaja, standar moral konvensional secara bertahap diinternalisasikan. Standar moral pada tahap ini didasarkan pada pemenuhan harapan keluarga, teman dan masyarakat sekitar. Hanya sebagian manusia dewasa yang rasional dan berpengalaman memiliki kemampuan merefleksikan secara kritis standar moral konvensional yang diwariskan keluarga, teman, budaya atau agama kita. Yaitu standar moral yang tidak memihak dan yang lebih memperhatikan kepentingan orang lain, dan secara memadai menyeimbangkan perhatian terhadap orang lain dengan perhatian terhadap diri sendiri.
Menurut ahli psikologi, Lawrence Kohlberg, dengan risetnya selama 20 tahun, menyimpulkan, bahwa ada 6 tingkatan (terdiri dari 3 level, masing- masing 2 tahap) yang teridentifikasi dalam perkembangan moral seseorang untuk berhadapan dengan isu-isu moral. Tahapannya adalah sebagai berikut :
1) Level satu : Tahap Prakonvensional
Pada tahap pertama, seorang anak dapat merespon peraturan dan ekspektasi sosial dan dapat menerapkan label-label baik, buruk, benar dan salah.
• Tahap satu : Orientasi Hukuman dan Ketaatan
Pada tahap ini, konsekuensi fisik sebuah tindakan sepenuhnya ditentukan oleh kebaikan atau keburukan tindakan itu. Alasan anak untuk melakukan yang baik adalah untuk menghindari hukuman atau menghormati kekuatan otoritas fisik yang lebih besar.
• Tahap dua : Orientasi Instrumen dan Relativitas
Pada tahap ini, tindakan yang benar adalah yang dapat berfungsi sebagai instrument untuk memuaskan kebutuhan anak itu sendiri atau kebutuhan mereka yang dipedulikan anak itu.
2) Level dua : Tahap Konvensional
Pada level ini, orang tidak hanya berdamai dengan harapan, tetapi menunjukkan loyalitas terhadap kelompok beserta norma-normanya. Remaja pada masa ini, dapat melihat situasi dari sudut pandang orang lain, dari perspektif kelompok sosialnya.
• Tahap Tiga : Orientasi pada Kesesuaian Interpersonal
Pada tahap ini, melakukan apa yang baik dimotivasi oleh kebutuhan untuk dilihat sebagai pelaku yang baik dalam pandangannya sendiri dan pandangan orang lain.
• Tahap Empat : Orientasi pada Hukum dan Keteraturan
Benar dan salah pada tahap konvensional yang lebih dewasa, kini ditentukan oleh loyalitas terhadap negara atau masyarakat sekitarnya yang lebih besar. Hukum dipatuhi kecuali tidak sesuai dengan kewajiban sosial lain yang sudah jelas.
3) Level tiga : Tahap Postkonvensional, Otonom, atau Berprinsip
Pada tahap ini, seseorang tidak lagi secara sederhana menerima nilai dan norma kelompoknya. Dia justru berusaha melihat situasi dari sudut pandang yang secara adil mempertimbangkan kepentingan orang lain. Dia mempertanyakan hukum dan nilai yang diadopsi oleh masyarakat dan mendefinisikan kembali dalam pengertian prinsip moral yang dipilih sendiri yang dapat dijustifikasi secara rasional. Hukum dan nilai yang pantas adalah yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang memotivasi orang yang rasional untuk menjalankannya.
• Tahap Lima : Orientasi pada Kontrak Sosial
Tahap ini, seseorang menjadi sadar bahwa mempunyai beragam pandangan dan pendapat personal yang bertentangan dan menekankan cara yang adil untuk mencapai consensus dengan kesepahaman, kontrak, dan proses yang matang. Dia percaya bahwa nilai dan norma bersifat relative, dan terlepas dari consensus demokratis semuanya diberi toleransi.
• Tahap Enam : Orientasi pada Prinsip Etika yang Universal
Tahap akhir ini, tindakan yang benar didefinisikan dalam pengertian prinsip moral yang dipilih karena komprehensivitas, universalitas, dan konsistensi. Alasan seseorang untuk melakukan apa yang benar berdasarkan pada komitmen terhadap prinsip-prinsip moral tersebut dan dia melihatnya sebagai criteria untuk mengevaluasi semua aturan dan tatanan moral yang lain.
Teori Kohlberg membantu kita memahami bagaimana kapasitas moral kita berkembang dan memperlihatkan bagaimana kita menjadi lebih berpengalaman dan kritis dalam menggunakan dan memahami standar moral yang kita punyai. Namun tidak semua orang mengalami perkembangan, dan banyak yang berhenti pada tahap awal sepanjang hidupnya. Bagi mereka yang tetap tinggal pada tahap prakonvensional, benar atau salah terus menerus didefinisikan dalam pengertian egosentris untuk menghindari hukuman dan melakukan apa yang dikatakan oleh figur otoritas yang berkuasa.
Bagi mereka yang mencapai tahap konvensional, tetapi tidak pernah maju lagi, benar atau salah selalu didefinisikan dalam pengertian norma-norma kelompok sosial mereka atau hukum negara atau masyarakat mereka. Namun demikian, bagi yang mencapai level postkonvensional dan mengambil pandangan yang reflektif dan kritis terhadap standar moral yang mereka yakini, benar dan salah secara moral didefinisikan dalam pengertian prinsip-prinsip moral yang mereka pilih bagi mereka sendiri sebagai yang lebih rasional dan memadai.
B. Penalaran Moral
Penalaran moral mengacu pada proses penalaran dimana prilaku, institusi, atau kebijakan dinilai sesuai atau melanggar standar moral. Penalaran moral selalu melibatkan dua komponen mendasar :
1. Pemahaman tentang yang dituntut, dilarang, dinilai atau disalahkan oleh standar moral yang masuk akal.
2. Bukti atau informasi yang menunjukkan bahwa orang, kebijakan, institusi, atau prilaku tertentu mempunyai ciri-ciri standar moral yang menuntut, melarang, menilai, atau menyalahkan.
3. Menganalisis penalaran moral.
Ada beberapa kriteria yang digunakan para ahli etika untuk mengevaluasi kelayakan penalaran moral, yaitu :
1. Penalaran moral harus logis.
2. Bukti faktual yang dikutip untuk mendukung penilaian harus akurat, relevan dan lengkap.
3. Standar moral yang melibatkan penalaran moral seseorang harus konsisten.
Sumber :
http://entrepreneur.gunadarma.ac.id/e-learning/materi/1-artikel/40-etika-bisnis.html
Riset psikologi menunjukkan bahwa perkembangan moral seseorang dapat berubah ketika dewasa. Saat anak-anak, kita secara jujur mengatakan apa yang benar dan apa yang salah, dan patuh untuk menghindari hukuman. Ketika tumbuh menjadi remaja, standar moral konvensional secara bertahap diinternalisasikan. Standar moral pada tahap ini didasarkan pada pemenuhan harapan keluarga, teman dan masyarakat sekitar. Hanya sebagian manusia dewasa yang rasional dan berpengalaman memiliki kemampuan merefleksikan secara kritis standar moral konvensional yang diwariskan keluarga, teman, budaya atau agama kita. Yaitu standar moral yang tidak memihak dan yang lebih memperhatikan kepentingan orang lain, dan secara memadai menyeimbangkan perhatian terhadap orang lain dengan perhatian terhadap diri sendiri.
Menurut ahli psikologi, Lawrence Kohlberg, dengan risetnya selama 20 tahun, menyimpulkan, bahwa ada 6 tingkatan (terdiri dari 3 level, masing- masing 2 tahap) yang teridentifikasi dalam perkembangan moral seseorang untuk berhadapan dengan isu-isu moral. Tahapannya adalah sebagai berikut :
1) Level satu : Tahap Prakonvensional
Pada tahap pertama, seorang anak dapat merespon peraturan dan ekspektasi sosial dan dapat menerapkan label-label baik, buruk, benar dan salah.
• Tahap satu : Orientasi Hukuman dan Ketaatan
Pada tahap ini, konsekuensi fisik sebuah tindakan sepenuhnya ditentukan oleh kebaikan atau keburukan tindakan itu. Alasan anak untuk melakukan yang baik adalah untuk menghindari hukuman atau menghormati kekuatan otoritas fisik yang lebih besar.
• Tahap dua : Orientasi Instrumen dan Relativitas
Pada tahap ini, tindakan yang benar adalah yang dapat berfungsi sebagai instrument untuk memuaskan kebutuhan anak itu sendiri atau kebutuhan mereka yang dipedulikan anak itu.
2) Level dua : Tahap Konvensional
Pada level ini, orang tidak hanya berdamai dengan harapan, tetapi menunjukkan loyalitas terhadap kelompok beserta norma-normanya. Remaja pada masa ini, dapat melihat situasi dari sudut pandang orang lain, dari perspektif kelompok sosialnya.
• Tahap Tiga : Orientasi pada Kesesuaian Interpersonal
Pada tahap ini, melakukan apa yang baik dimotivasi oleh kebutuhan untuk dilihat sebagai pelaku yang baik dalam pandangannya sendiri dan pandangan orang lain.
• Tahap Empat : Orientasi pada Hukum dan Keteraturan
Benar dan salah pada tahap konvensional yang lebih dewasa, kini ditentukan oleh loyalitas terhadap negara atau masyarakat sekitarnya yang lebih besar. Hukum dipatuhi kecuali tidak sesuai dengan kewajiban sosial lain yang sudah jelas.
3) Level tiga : Tahap Postkonvensional, Otonom, atau Berprinsip
Pada tahap ini, seseorang tidak lagi secara sederhana menerima nilai dan norma kelompoknya. Dia justru berusaha melihat situasi dari sudut pandang yang secara adil mempertimbangkan kepentingan orang lain. Dia mempertanyakan hukum dan nilai yang diadopsi oleh masyarakat dan mendefinisikan kembali dalam pengertian prinsip moral yang dipilih sendiri yang dapat dijustifikasi secara rasional. Hukum dan nilai yang pantas adalah yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang memotivasi orang yang rasional untuk menjalankannya.
• Tahap Lima : Orientasi pada Kontrak Sosial
Tahap ini, seseorang menjadi sadar bahwa mempunyai beragam pandangan dan pendapat personal yang bertentangan dan menekankan cara yang adil untuk mencapai consensus dengan kesepahaman, kontrak, dan proses yang matang. Dia percaya bahwa nilai dan norma bersifat relative, dan terlepas dari consensus demokratis semuanya diberi toleransi.
• Tahap Enam : Orientasi pada Prinsip Etika yang Universal
Tahap akhir ini, tindakan yang benar didefinisikan dalam pengertian prinsip moral yang dipilih karena komprehensivitas, universalitas, dan konsistensi. Alasan seseorang untuk melakukan apa yang benar berdasarkan pada komitmen terhadap prinsip-prinsip moral tersebut dan dia melihatnya sebagai criteria untuk mengevaluasi semua aturan dan tatanan moral yang lain.
Teori Kohlberg membantu kita memahami bagaimana kapasitas moral kita berkembang dan memperlihatkan bagaimana kita menjadi lebih berpengalaman dan kritis dalam menggunakan dan memahami standar moral yang kita punyai. Namun tidak semua orang mengalami perkembangan, dan banyak yang berhenti pada tahap awal sepanjang hidupnya. Bagi mereka yang tetap tinggal pada tahap prakonvensional, benar atau salah terus menerus didefinisikan dalam pengertian egosentris untuk menghindari hukuman dan melakukan apa yang dikatakan oleh figur otoritas yang berkuasa.
Bagi mereka yang mencapai tahap konvensional, tetapi tidak pernah maju lagi, benar atau salah selalu didefinisikan dalam pengertian norma-norma kelompok sosial mereka atau hukum negara atau masyarakat mereka. Namun demikian, bagi yang mencapai level postkonvensional dan mengambil pandangan yang reflektif dan kritis terhadap standar moral yang mereka yakini, benar dan salah secara moral didefinisikan dalam pengertian prinsip-prinsip moral yang mereka pilih bagi mereka sendiri sebagai yang lebih rasional dan memadai.
B. Penalaran Moral
Penalaran moral mengacu pada proses penalaran dimana prilaku, institusi, atau kebijakan dinilai sesuai atau melanggar standar moral. Penalaran moral selalu melibatkan dua komponen mendasar :
1. Pemahaman tentang yang dituntut, dilarang, dinilai atau disalahkan oleh standar moral yang masuk akal.
2. Bukti atau informasi yang menunjukkan bahwa orang, kebijakan, institusi, atau prilaku tertentu mempunyai ciri-ciri standar moral yang menuntut, melarang, menilai, atau menyalahkan.
3. Menganalisis penalaran moral.
Ada beberapa kriteria yang digunakan para ahli etika untuk mengevaluasi kelayakan penalaran moral, yaitu :
1. Penalaran moral harus logis.
2. Bukti faktual yang dikutip untuk mendukung penilaian harus akurat, relevan dan lengkap.
3. Standar moral yang melibatkan penalaran moral seseorang harus konsisten.
Sumber :
http://entrepreneur.gunadarma.ac.id/e-learning/materi/1-artikel/40-etika-bisnis.html
MORAL DAN ETIKA DALAM DUNIA BISNIS
A. Moral dalam Dunia Bisnis
Berbicara tentang moral sangat erat kaitannya dengan pembicaraan agama dan budaya, artinya kaidah-kaidah dari moral pelaku bisnis sangat dipengaruhi oleh ajaran serta budaya yang dimiliki oleh pelaku-pelaku bisnis sendiri. Setiap agama mengajarkan pada umatnya untuk memiliki moral yang terpuji, apakah itu dalam kegiatan mendapatkan keuntungan dalam ber-"bisnis". Jadi, moral sudah jelas merupakan suatu yang terpuji dan pasti memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak. Umpamanya, dalam melakukan transaksi, jika dilakukan dengan jujur dan konsekuen, jelas kedua belah pihak akan merasa puas dan memperoleh kepercayaan satu sama lain, yang pada akhirnya akan terjalin kerja sama yang erat dan saling menguntungkan.
Moral dan bisnis perlu terus ada agar terdapat dunia bisnis yang benar-benar menjamin tingkat kepuasan, baik pada konsumen maupun produsen. Kenapa hal ini perlu dibicarakan? Isu yang mencuat adalah semakin pesatnya perkembangan informasi tanpa diimbangi dengan dunia bisnis yang ber "moral", dunia ini akan menjadi suatu rimba modern yang kuat menindas yang lemah sehingga apa yang diamanatkan UUD 1945, Pasal 33 dan GBHN untuk menciptakan keadilan dan pemerataan tidak akan pernah terwujud.
Moral lahir dari orang yang memiliki dan mengetahui ajaran agama dan budaya. Agama telah mengatur seseorang dalam melakukan hubungan dengan orang sehingga dapat dinyatakan bahwa orang yang mendasarkan bisnisnya pada agama akan memiliki moral yang terpuji dalam melakukan bisnis. Berdasarkan ini sebenarnya moral dalam berbisnis tidak akan bisa ditentukan dalam bentuk suatu peraturan (rule) yang ditetapkan oleh pihak-pihak tertentu. Moral harus tumbuh dari diri seseorang dengan pengetahuan ajaran agama yang dianut budaya dan dimiliki harus mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
B. Etika Dalam Dunia Bisnis
Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi.
Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya.
Dunia bisnis, tidak menyangkut hubungan antara pengusaha dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain :
1. Pengendalian diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Di samping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan dengan jalan main curang dan menakan pihak lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang “etis”.
2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
Pelaku bisnis di sini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya.
3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
4. Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah ke bawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan”
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.
7. Mampu menyatakan yang benar itu benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang terkait.
8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha ke bawah
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.
9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua etika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan “gugur” satu demi satu.
10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati
Jika etika ini telah dimiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah. Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi di muka bumi ini.
Sumber :
N. Nuryesman M, Moral dan Etika Dalam Dunia Bisnis, Bank dan Manajemen, Mei/Juni 1996.
Berbicara tentang moral sangat erat kaitannya dengan pembicaraan agama dan budaya, artinya kaidah-kaidah dari moral pelaku bisnis sangat dipengaruhi oleh ajaran serta budaya yang dimiliki oleh pelaku-pelaku bisnis sendiri. Setiap agama mengajarkan pada umatnya untuk memiliki moral yang terpuji, apakah itu dalam kegiatan mendapatkan keuntungan dalam ber-"bisnis". Jadi, moral sudah jelas merupakan suatu yang terpuji dan pasti memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak. Umpamanya, dalam melakukan transaksi, jika dilakukan dengan jujur dan konsekuen, jelas kedua belah pihak akan merasa puas dan memperoleh kepercayaan satu sama lain, yang pada akhirnya akan terjalin kerja sama yang erat dan saling menguntungkan.
Moral dan bisnis perlu terus ada agar terdapat dunia bisnis yang benar-benar menjamin tingkat kepuasan, baik pada konsumen maupun produsen. Kenapa hal ini perlu dibicarakan? Isu yang mencuat adalah semakin pesatnya perkembangan informasi tanpa diimbangi dengan dunia bisnis yang ber "moral", dunia ini akan menjadi suatu rimba modern yang kuat menindas yang lemah sehingga apa yang diamanatkan UUD 1945, Pasal 33 dan GBHN untuk menciptakan keadilan dan pemerataan tidak akan pernah terwujud.
Moral lahir dari orang yang memiliki dan mengetahui ajaran agama dan budaya. Agama telah mengatur seseorang dalam melakukan hubungan dengan orang sehingga dapat dinyatakan bahwa orang yang mendasarkan bisnisnya pada agama akan memiliki moral yang terpuji dalam melakukan bisnis. Berdasarkan ini sebenarnya moral dalam berbisnis tidak akan bisa ditentukan dalam bentuk suatu peraturan (rule) yang ditetapkan oleh pihak-pihak tertentu. Moral harus tumbuh dari diri seseorang dengan pengetahuan ajaran agama yang dianut budaya dan dimiliki harus mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
B. Etika Dalam Dunia Bisnis
Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi.
Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya.
Dunia bisnis, tidak menyangkut hubungan antara pengusaha dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain :
1. Pengendalian diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Di samping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan dengan jalan main curang dan menakan pihak lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang “etis”.
2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
Pelaku bisnis di sini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya.
3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
4. Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah ke bawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan”
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.
7. Mampu menyatakan yang benar itu benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang terkait.
8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha ke bawah
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.
9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua etika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan “gugur” satu demi satu.
10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati
Jika etika ini telah dimiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah. Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi di muka bumi ini.
Sumber :
N. Nuryesman M, Moral dan Etika Dalam Dunia Bisnis, Bank dan Manajemen, Mei/Juni 1996.
Langganan:
Postingan (Atom)